Friday, September 25, 2015

GAME OVER - Hanna Enka

Haruskah aku mengakhirinya sekarang?

Selama ini, kukira aku sibuk mencari. Menemukan, apa arti aku sebenarnya baginya. Kukira, sudah cukuplah hari ini terjelaskan semuanya.

Aku selalu bertanya. Sebenarnya apa masalahnya? Ada banyak hal yang Tak bisa kutahu. Ada lingkaran yang Tak boleh kumasuki. Dan ada bagian dirinya yang Tak perlu kujamah.

Mungkin dia lelah. Bosan. Juga letih. Kukira aku pun sudah mencoba. Dan hasilnya..... Ternyata terlalu (sangat) menyakitkan.

Aku bertanya, kenapa, hanya untuk sekedar membawaku berbaur di antara dunia dan teman-temannya Ia enggan? Kutanyai tentang masa lalunya saja, Ia enggan dan berbalik marah. Kuminta berfoto bersama pun terasa sulit. Bahkan ponselnya yang kusengaja kutak-katik, hanya berujung dengan perkelahian.

Apakah hanya aku yang ingin damai? Mengapa hanya aku yang seolah-olah ingin terlihat bahagia? Kenapa seperti hanya aku saja yang menginginkan hubungan ini. Seperti hanya aku saja yang ingin menikmati hubungan usai menikah ini.

Dia banyak berucap, katanya semua orang juga tahu dia sudah menikah. Namun, kenapa rasanya sebaliknya. Kukira ini terlalu sakit. Terlalu kejam. Terlalu menyakitiku.

Aku sakit.......

Kukira mungkin kami hanya sebatas status. Kukira mungkin aku Tak punya arti apa apa yang lebih. Ketika aku ada masalah, Ia tidak ada untukku. Walaupun kubercerita, Ia seperti enggan untuk mengerti apa lagi menghibur.

Tetapi, kenapa berbeda dengan orang lain? Aku jadi teringat dulu, pertama kali, bukankah dia juga menarik hatiku karena dia peduli?

Satu hal yang aku mengerti terlambat. Kurasa bukan bahagia yang kuinginkan sekarang. Tetapi damai. Aku bisa saja ditinggalkan. Kami bisa saja berpisah. Atau kasih sayang itu bisa juga berkepala dua. Aku, hanya bisa apa kecuali diam, bersiap dan menangis.

Cukuplah kutahu Ia lebih senang menghabiskan waktu senggangnya menghubungi perempuan lain, ketimbang menghubungiku. Bahkan ketika aku menghubungi saja aku seperti benalu yang ingin cepat-cepat Ia enyahkan.

Aku sedih....

Kupikir mulai sekarang aku harus berhenti. Aku harus menyerah. Apa yang aku harapkan ketika yang kutempati menggantungkan cerita justru Tak ingin menjamahku?

Tidakkah Ia tahu aku bersedih?

Ah, tidak. Tentu Ia tidak tahu. Ia bahkan tidak pernah aku tahu kalau aku menulis serupa ini. Ia juga tidak pernah tahu dan Tak mau tahu tentang apa yang aku tulis atau tentang keinginanku menjadi penulis. Dia tidak pernah mau tahu apa-apa yang aku inginkan dan aku ingin menjadi apa.

Lalu, apa lagi yang kuharap kan?

Ketika Ia tidak pernah ingin tahu. Masihkah aku harus memaksa masuk?

Aku Tak akan lari. Seperti wanita yang kosong. Aku tahu kalau aku hanya perlu berpura-pura baik-baik saja walau sebenarnya aku sangat terluka.

Aku tidak akan lari mencari bahu lain sebagai sandaran. Aku tidak akan menyambut kehangatan yang datang merengkuh. Aku hanya akan menutup mata dan semua panca Indraku. Aku hanya perlu membangun benteng yang kokoh, sebelum aku Tak kuat dan beranjak pergi.

Bukankah di sekian ratus kertas catatan warna-warni di kamar yang ku gunakan sebagai pengingat tergantung pula impian dan harapanku.

Suatu saat, aku akan meninggalkan semuanya. Meninggalkan kenangan pahit, meninggalkan cinta, melupakan orang yang kukenal. Aku ingin pergi. Aku ingin ke luar negeri. Mengubah identitasku. Dan tinggal dengan pribadi yang baru.

Mungkin hanya omong kosong. Tapi itulah yang aku pikirkan sekarang. Aku ingin pergi.......

Ketika aku sudah tidak punya siapa-siapa. Ketika aku kehilangan keluargaku - orang tua, ayah dan ibu, aku kehilangan teman-temanku, aku kehilangan hidupku dan (mungkin) aku pun akan kehilangan tumpuan terakhir ku - suamiku.

Aku lelah.....

Bersandiwara. Padahal mataku lelah menangis tiap waktu. Benar. Hanya Tuhan yang ada di sisiku, sampai saat ini.  Hanya DIA yang membuatku bertahan walau aku kian rapuh.

Seandainya, ini dibaca olehnya, dapatkah Ia menyadari kesalahan yang ada? Bukan berkata aku yang selalu menuntut. Atau aku yang selalu benar.

Bisakah Ia tengok sejenak, apakah sebaik Ia memperlakukan wanita lain - yang galau, lemah dan rapuh, sebaik itu juga kah Ia memperlakukanku?

Aku Menangis sekarang. Aku ingin memeluk seseorang. Atau siapa pun, bisakah tenang kan aku dan coba kuatkan aku....

Ini lebih rumit bahkan hanya dari sekedar membaca novel. Aku penulis namun pedih jika aku harus menggoreskan kisahnya.

-----------------------

Aku berhenti untuk bertanya "siapa dia?" atau hanya sekedar ingin tahu. Aku Tak ingin perseteruan itu terjadi lagi. kukira walau aku memancing api, Ia Tak akan melihat pada apa yang kusoroti.

Apa urusan kita dengan orang lain? Kau menikahiku karena kau memilihku. Kau memulai kisah ini karena kau mencintaiku. 

Tidakkah kau merasa takut kehilangan seandainya itu benar terjadi?

Ada banyak hal yang Tak kau tahu tentang ku. Aku berusaha untuk mendaftar dan mencari easiswa untuk melanjutkan studi di tempat yang jauh. Aku mencari beasiswa full namun Tak semudah yang aku kira. Bahkan jika aku ingin, sekarang aku akan pergi. 

Aku ingin tenang. Sebentar saja.....

-------------------------

Mungkin, kau hanya Tak ingin orang lain mengenal aku sebagai istrimu. Agar kau bisa berhubungan dengan semua orang tanpa penghalang. 

Aku Tak bodoh.

Kukira, kau sama saja dengan Faisal. Atau siapalah..... Semua hanya akan berawal dari peduli, dan nantinya akan berujung sama...

Aku bisa apa? Kecuali bersiap untuk diduakan atau ditinggalkan...

Sakit.... Belum terjadi saja sudah sakit... Apalagi kalau perkiraan ku terbukti...

Kukira aku jadi protektif karena aku kehilangan banyak hal di dunia sehingga aku Tak ingin kehilangan lagi.

----------------

Aku Tak akan tenang. Tak akan yakin. Karena kau bukan laki-laki yang hidup dalam jalan Tuhan. Kau tidak dirangkul oleh sholatmu. Lantas apa yang membuatku yakin?

Kau juga harus ingat, kukira ayahmu pun berkelana dan membenih cinta di banyak tempat. Bukan berarti aku harus tenang karena kau Tak mungkin melakukannya.

Sekarang, bukan lelaki berparas tampan yang dibutuhkan wanita. Tetapi Ia yang peduli. Ia yang berpenghasilan (jikalau kau sukses kelak). Apalah aku, hanya perempuan yang tinggal dirumah tanpa tahu apa pun yang terjadi di sekitarmu.

Tak perduli apakah Ia sudah beristri, sudah beranak, asalkan hidupnya lengkap dengan hal yang menurutnya membahagiakan. Walau harus melukai orang lain.

Aku hanya istri, yang berusaha menjagamu. Karena jikalau aku kehilangan, kau tahu seberapa sakit aku kau buat. Haruskah kelak aku berlutut kepada perempuan lain yang nantinya tersangkut dalam hal-hal yang tidak kuinginkan?

-------------------

Kukira kau harusnya paham. Sesuatu yang kau renggut harus kau jaga. Banyak hal yang sudah kukorbankan dan sampai kapan pun Tak akan sanggup kau kembalikan.

Aku Tak ingin mencari laki-laki lain, jika ada yang bisa ku pertahankan. Jika ada yang kujadikan tempat untuk merangkai kebaikan.

Aku diam bukan berarti aku tidak tahu. 

terserah apa kata orang. Hubungan yang baik dirangkai oleh kita, bukan mereka. Mereka (orang lain) hanya bisa mengomentari kritik atau iri.

---------------------

Terakhir kutanya, apakah benar kau mencintaiku? Setelah semua kita lewati bersama sampai kau tega berbagi peduli kepada orang lain ketimbang kepada aku, istrimu yang nyata-nyata membutuhkanmu tapi kau Tak pernah ada?

Benarkah kau mencintaiku, ketika kau katakan kau mencari nafkah untukku tetapi senggang mu lebih ada untuk perempuan lain ketimbang aku- istrimu?

Benarkah kau mencintai ku, bahkan ketika kau tahu aku bersedih aku terluka, kau tetap tidak peka merasa dan tidak peduli?

Benarkah kau mencintaiku?

-----------------------

No comments:

Post a Comment

Leave comments here!