Monday, October 7, 2013

CALON MAHASISWA BARU JUGA MANUSIA - Icerenicezz Hanna



           
Bercerita tentang jerih payah gue banting tulang ikut bimbingan belajar untuk memperjuangkan masa depan gue di garis start SNMPTN (sebut saja senam petani). Emang bukan hal yang terbilang mudah. Gue mempertaruhkan segalanya , mulai dari usaha , kerja keras , air mata , isi perut , uang , keringat , desah nafas bahkan melek dan molor sekalipun gue ikut pertaruhkan.

            Gue ingat , gue sering sekali menangis meratapi nasib gue dan lu tahu ga? Gue menangis meratapi nasib gue dikamar mandi sambil bersandar ditembok. Gue selalu mikir ‘Tuhan , nasib masa depan gue gimana sekarang? Kenapa hanya untuk tes masuk PTN harus segini besar pengorbanannya? Sampai gue rela kangen-kangenan sama nyokap dan bokap sampai siksa batin.’

            Gue juga ingat tiap malam ada bimbingan belajar sampai pagi dan total waktu belajarnya adalah 8 jam dengan 2 jam ngerjain soal dan 6 jam molor ( itu perhitungan waktu buat gue). Gue merasa kita udah seperti hantu leak , semua anak-anak peserta bimbingan pada merhatiin penjelasan tentor dengan mata merah berair. Belum lagi kalau ada siswa yang rambutnya keriting dan matanya melotot berair merhatiin tentor menjelaskan materi jam satu malam. Udah bukan kaya ikan mujair malah seperti hantu zombie. Apa kurang coba pengorbanan kami begini?

            Tentu saja, ga semudah ikut tes masuk SD, SMP atau bahkan SMA. Tes dengan jumlah soal yang terbilang sangat banyak , mungkin sebanyak detak jantung dan denyut nadi tetapi dengan durasi waktu secepat napas memburu kalau dikejar setan. Ha-hu-ha-hu!!

 ‘kamu kapan selesai , waktunya udah mau habis , bulat aja pake bismillah.’ Seolah-olah gue denger soal gue ngomong.

            Bergulat dengan waktu dan beberapa pelajaran yang memutar otak 180 derajat. Bisa dibayangkan seperti mesin cuci yang berputar kekiri dan kekanan. Serong kiri serong kanan. Gue paling benci sama pelajaran berhitung. Alasannya bukan karena gue ga suka , tapi karena gue ga tau. Matematika IPA adalah pelajaran yang terbilang mengadu mental gue. Entah bagaimana caranya , gue malah mikir, bisa ga otak Einstein di klonning kan aja ke otak gue?

            Kimia. Pelajaran satu ini adalah pelajaran campur mencampur. Kalo buat es campur mah gue bisa tapi kalau mencampur segala jenis C dan H bahkan ratusan abjad lainnya gue mah nyerah (entah mengapa, kimia membuat abjad berubah jumlah menjadi ratusan).




            Fisika. Membahas tentang kecepatan dan percepatan. Contohnya : ada sebuah ambulance dikejauhan “blablabla” meter, suaranya nya terdengar sejauh “blablabla” meter dari seorang pejalan kaki. Berapa kecepatan seorang pejalan kaki? Gue mikir, mana ada ambulance sama pejalan kaki mau permasalahin itu coba, ntar kasian sama orang yang sekarat didalam ambulance. Itu gimana nasibnya kalo si pengemudi ambulance sama si pejalan kaki saling bantah-membantah. Belum lagi soal yang membahas tentang permasalahan percepatan. Itu kok dipermasalahin sih? Orang yang ikutan kelas akselarasi atau percepatan aja ga ada yang protes buat dipermasalahin. Iya ga?

            Biologi. Gue gak bisa protes untuk mata pelajaran ini. Ini adalah salah satu pelajaran favorit gue. Pelajaran ini adalah pelajaran yang penuh dengan penjelasan yang bisa membuat kita berkhayal dan gue suka untuk hal-hal yang lebih mengasah pada imajinasi. Seperti daur ulang hidup hewan , proses metamorphosis , dan banyak hal lainnya.

Dulu gue pengen banget jadi dokter , habisnya semua anak-anak seumuran gue pengen jadi dokter makanya gue mikir kalau jadi dokter itu keren. Tapi sesungguhnya gue takut jadi dokter. Gue ga demen dengan hal-hal yang berbau darah, suntik menyuntik dan beberapa adegan dokter yang menurut gue adalah adegan kekerasan. Sebenarnya bukan kekerasan , hanya gue merasa nyuntik pasien itu sama seperti gue aja yang ngerasain dan itu siksaan batin banget.

 Apalagi gue ingat waktu itu gue sakit dan gue dibawa bokap gue ke rumah sakit terdekat. Sang dokter mungkin lagi ngantuk dan nyawanya belum ngumpul , kok dia bisa nanya ke gue “Sakit apa dek?”. Ya ampun ini dokter gimana sih coba? Mana gue tahu juga gue sakit apaan kan gue datang kesana buat periksa , gue ini kena penyakit apa. Gue malah salut kalau ada dokter yang nanya ke gue “mau obat apa dek?” nah gitu kan bagus. Kita bisa mesan obat kaya mesan minuman , ‘gue pengen rasa strawberry’. Gue ga demen minum obat sebenarnya.

            Dibandingkan antara pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa inggris, bahasa inggris jauh lebih gampang dipahami daripada bahasa Indonesia yang selalunya mengecoh. Bahasa inggris dari dulu gitu-gitu aja ga ganti-ganti , ga kayak bahasa Indonesia yang terus-menerus mengalami perkembangan. Bukan hanya manusia yang berkembang , ternyata pelajaran juga bisa pemirsa. Gue takut dengan pelajaran bahasa Indonesia , karena kalo soal nya berbentuk pilihan ganda gue sering banget dilema mau milih jawaban yang mana, ibarat lirik lagu “aku terjebak didua hati.”

            Oh SNMPTN , kenapa melalui mu begitu susah? Bagai meniti sebuah jembatan tali yang renggang diatas lautan api. Padahal kalau dipikir kan walaupun sesulit itu , kualitas penerus bangsa ini juga masih banyak yang bobrok. Buktinya angka pengangguran aja masih terus meningkat.

            Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang akan menjadi malaikat untuk kami para kaum-kaum yang teraniaya oleh ‘senam petani’ ini?

            Kami gagal belum tentu kami ga usaha. Kami gagal bukan berarti kami ga pintar. Kami ga tahu bukan berarti kami ga pernah mencari tahu. Kami takut , ya memang takut waktu bertatap muka dengan soal nya. Kami gemetar , iya orang kami dikejar oleh waktu yang hanya sejam dengan 75 soal TPA yang benar-benar membuat jungkir balik roda kehidupan. Syukur-syukur aja pas selesai tes ga ada yang ikut kebalik otaknya , ga bisa dibayangin kalo satu-per-satu peserta tes harus diangkut karena menderita penyakit ‘mendadak gila’.

            Kami rela belajar setiap hari , tiap malam , tiap detik ga pernah tidur. Bahkan , gue ingat menjelang H-1 ujian ‘senam petani’ gue ga pernah makan nasi. Dua hari berturut-turut menjelang tes TPA , kemampuan dasar dan kemampuan IPA ditambah kemampuan IPS karena waktu itu gue ambil program IPC , gue sama sekali ga makan nasi. Gue hanya makan biskuit coklat goodtime dan roti yang gue beli di alfa mart. Gue yang udah kurus kaya tulang belulang ini entah tambah kurus dan pantas disebut apa.

            Alasannya gue ga makan nasi adalah : gue takut kalau-kalau gue bakalan ngerasa ‘pup’ ditengah tes dan gue paling benci kalau harus menguras waktu ke kamar kecil untuk buang air mengingat waktu pengerjaan soal bahkan ga ditambahin dan ga bisa di ‘pause’ kaya di film-film. Coba ini zaman yang ada di abad doraemon lahir?? Gue pengen jadi nobita nya.

            Hari pertama tes : Mata pelajaran TPA

            Pengawas mulai membagikan soal dari bangku depan dan gue duduk dibarisan terakhir , dikursi ke-2 dihitung dari sebelah kanan. Gue udah mulai merasa ada getaran-getaran kecil didalam perut gue. Gue mulai menarik napas ‘ha-hu-ha-hu’. Akhirnya , getaran tersebut musnah. Lembar jawaban udah mulai gue isi dan soal juga udah ada di tangan gue. Jantung gue berdetak kencang ‘dagdugdagdug’ sampai terlihat pensil 2B yang gue genggam juga ikut merasakan getarannya. Mungkin sekitar 4SR (skala richter).

            15 menit berlalu. Semua peserta ujian sudah mulai mengerjakan soal masing-masing yang terdiri atas 4 paket. Tentu saja , lu mau ngelirik atas-bawah kiri-kanan lu ga bakalan dapat mukjizat dari sang ilahi. Yang ada kalo lu banyak gerak , lu malah disamperin sama tatapan melotot pengawas ujian.

            Ga lama setelahnya , pengawas ujian mulai rolling mengitari kelas. Biasa, waktunya untuk tanda tangan di daftar hadir. Sekitar 5 bangku lagi menuju bangku gue. Tiba-tiba perasaan gue ga enak , gue mikir jangan-jangan ini adalah pertanda. ‘jangan kali ini please , please , and please!!!’. Gue mulai keringatan. Benar saja , saat giliran gue yang mengisi daftar hadir perut gue miss called sekencang-kencangnya , bahkan lebih kencang dari sebuah bom tembakan maut yang disebut ‘kentut.’ Satu pelajaran yang gue dapet , lebih baik gue makan nasi daripada gue maksa makan roti dan biskuit alhasil gue malah membuat getaran vulkanik didalam ruangan yang cukup mempermalukan.

            Gue ingat , waktu itu ada seorang cewek yang seruangan sama gue. Kita kenal gitu aja. Bukan gue yang ngajak kenalan. Maklum nyokap gue sering pesan ke gue ‘nak, kalo ada orang yang nyamperin, kamu ga dikenal ga usah digubris. Kali aja dia itu kawanan penculik , apalagi itu dikota orang. Ntar kalo kamu hilang susah buat lagi.’ Kata nyokap gue gitu.

            Namanya Nunu. Yah selintas begitu yang terlintas dibenak gue. Dia adalah mantan anak IPS yang mencoba mengadu nasib masuk ke program kedokteran – dokter gigi dan dokter umum ditambah akuntansi. Gue sama dia tepatnya terbalik , gue yang asli dari kelas IPA malah banyak milih jurusan IPS dan dia yang jurusan IPS malah banyak ambil program studi IPA. Waktu itu gue ngambil 3 program studi : Dokter gigi , Hubungan internasional dan sastra inggris.

            Dihari pertama tes , gue udah mulai akrab sama dia. Gue ingat pesan om gue , entar kalo udah selesai tes gue disuruh nyari ojek didekat bundaran ‘segitiga bermuda’ yang gue gak tahu itu namanya apa tepat didalam universitas hasanuddin. Semetinya dari ruang tes gue , gue tuh harusnya turun kebawah tapi karena temen gue satu ini ngajak lihat-lihat sekitar universitas dulu ya udah gue mau aja.

            Kami berjalan terus keatas melewati jalan-jalan yang entah mengapa semuanya berubah menjadi hutan. Gue sama dia gak banyak ngobrol. Sampai akhirnya , tersurat di benak gue jangan-jangan gue mau diculik. Gue memberanikan diri untuk bertanya.

            “Kita mau kemana ya? Ini kok jalan terus keatas? Mana enggak ada ujungnya terus hutan semua lagi.”

            “Tenang aja. Kita mau lihat-lihat fakultas.”

            “Emang lu tahu jalan?”

            Nunu berhenti. Terus dia menatap gue. Dengan wajah yang polos seperti gadis tak bersalah dia bilang satu kata yang membuat gue menganga “ENGGAAAK!”

            Lah ini gimana dong? Gue tersesat didalam universitas. Malu-maluin banget. Belum juga jadi mahasiswa udah hilang aja. Ya ampun. Tuhan ampuni gue!!

            Hari kedua tes : Mata pelajaran TPA , Kemampuan Dasar , Kemampuan IPA & IPS

            Hari ini , adalah mata pelajaran pemanasan. Jangan lupa mempersiapkan tissue , handuk dan baju ganti kali aja lu keringatan berlebihan. Jangan lupa sediakan deodorant juga. Tidur gue semalam enggak tenang gara-gara mikirin mata pelajaran hari ini. Sebenarnya gue ga bodoh-bodoh amat disoal berhitung , gue bisa. Hanya saja terkadang kalau gue ngitung , hasilnya malah ga dapet atau malah meleset. Jadinya malah gue bulat pake bismillah aja jawabannya.

            Dihari kedua gue udah mulai dapet teman lagi tapi gue ga tau namanya siapa, dia gak ngomong soalnya. Dia hanya curhat aja ke gue :

‘hari kedua untuk berjuang. Sebenarnya ini tidak mau ka’ saya ikut ini snmpt-eng. Mau ka’ saja masuk IPDN tapi na paksa ka’ sama orang tuaku, kasian ma ka’ juga lihat ii sudah 100 kali ma na kasih tau.’ Dengan logat Makassar dan tentu saja yang seharusnya ga make tambahan kata malah ditambah menjadi snmpt-eng.

Emang sih kalau dilihat dari postur tubuh , sepertinya gadis itu lebih cocok masuk IPDN. Postur tubuhnya bagai wanita perkakas. Bahkan , dia berotot.

Gue ingat waktu mata pelajaran Kemampuan IPA , mata pelajaran seperti fisika dan biologi ada yang menggunakan pilihan jawaban numerik dan berdasarkan pendapat. Jelas  saja pilihannya gak dicantumkan di kertas lembaran soal. Si gadis perkakas itu malah grasak-grusuk sendirian engga jelas ditempat duduknya. Tiba-tiba akhirnya dia ngangkat tangan bersiap untuk mengajukan pertanyaan.

“Pa, bu ini bagaimana? Engga ada pilihan jawabannya. Salah soal ini kali. Cape ma ka bolak-balik kertas tidak dapat-dapat ka juga pilihan jawabannya.” Masih dengan logat khas nya.

Pengawas ujian gak menggubris , mereka hanya bilang ‘kerja saja , soalnya bukan kita yang buat jadi kita gak tau apa-apa.’ Sesaat gue mikir , tentu saja gadis itu hanya membawa senjata tanpa diruncing kan terlebih dahulu. Gue turut berduka cita. Tapi , gue salut setidaknya dia bisa mewujudkan keinginan orang tuanya untuk ikut tes snmpt-eng.



Terlalu banyak jalan berliku yang harus dilalui. Padahal , kita sudah mengasah senjata dengan banyak pengorbanan. Namun , terkadang hasil yang diperoleh ga memuaskan. Memang cukup mengecewakan , tetapi siapa coba yang mau disalahkan? Nyalahin diri sendiri? Emang iya. ‘kenapa gue ga bisa melewati tes yang kekuatannya hanya ada pada lembaran kertas yang ga bisa melawan itu?’

Tapi, tentu saja , gue gak menyalahkan diri gue sendiri. Gue hanya selalu mikir, mungkin emang keberuntungan gue lagi jelek. Mestinya sebelum tes gue ke dukun dulu minta jimat.

Andaikan pemerintah bisa mendengar jeritan hati kami para korban gagal snmpt-eng. Bisakah ada satu titik celah cahaya yang bisa membuat kami tidak segini tekanan batinnya? Karena tentu saja kami calon mahasiswa baru ini juga manusia. Bisa tekanan batin dan punya keterbatasan. Sesungguhnya walau kemampuan ini bahkan standar , setidaknya anak-anak bangsa , para calon mahasiswa gagal pasti memiliki kreatifitas yang baik.

No comments:

Post a Comment

Leave comments here!