Gue adalah anak pertama dan merupakan
gadis perkakas diantara kedua saudara gue (re: perkakas-perkasa). Gue selalu
berangan-angan ‘kapaaaaan? Kapaaaaaan gue bisa punya kakak cowok.’ Dan sumpah
kalo bisa buat permintaan pas sweet
seventeen gue pengen banget minta sama Tuhan biar diberikan seorang kakak
cowok. Tentu saja , bokap sama nyokap pasti mikir, yaudah anak-anak balik
kesurga dulu biar papa sama mama buat kakak cowok , baru deh kalian semua lahir
kembali. Dan tentu saja itu ga semudah kita berkhayal pemirsa. Ini bukan jaman
doraemon yang waktu bisa lu buat jungkir balik.
Walaupun gue seorang gadis bukan
berarti gue selalu bermanja-manja. Keluarga gue selalu mengajarkan
masing-masing pribadi dari kami untuk menjadi manusia yang bisa mandiri (mandi sendiri) dan berdikari
(berdiri dikaki sendiri). Untuk menjadi pribadi yang berdikari , gue heran
yaiyalah pasti gitu. Mana ada kan jasa peminjaman kaki? Ga ada. Siapa yang mau
sewain kakinya kaya nge-kos gitu, ada gak?
Ada hal yang ga pernah bisa gue
lupain seumur hidup gue. Waktu itu gue masih berumur sekitaran 9 tahun. Tepat
setelah sholat idul fitri , tetangga gue datang bersilahturahmi dirumah. Gue ga
sengaja denger perbincangan mereka dengan bonyok (re; bokap nyokap) gue
(padahal gue biasanya suka nguping). Waktu itu mereka pada nge-bicaraan gue.
Tetangga : Jadi
bos. Berapa anak buah?
Papa : Alhamdulillah sudah tiga anak buah.
Tetangga : Sekolah
dimana semua? Yang besar siapa?
Papa : Hana
yang paling besar, dia sudah SMP.
Terus gue tiba-tiba aja dipanggil dan
disuruh nganter minuman. Tahu ga pas gue muncul tetangga gue bilang apa?
Tetangga
: eh,
ini hana? Sudah besar. Saya kira dia ini laki-laki.
Seketika hati gue menjerit. Emangnya
tampang gue kayak cowok? (membuka album foto dengan mata melotot). Atau mungkin
gue berotot? Engga! Atau gue berkumis dan bahkan badan gue bidang? Engga. Gue
heran sama tetangga gue sampai bisa berpikiran kalau gue adalah seorang
laki-laki.
Jika mau flashback kembali ke beberapa tahun yang lalu, masa kecil gue emang
terbilang masa kecil paling ekstrim. Entah mengapa gue tergabung dengan klub
sepakbola keseblasan se-RT dan RW. Bagaimana bisa? Tiap sore gue ingat bokap
gue suka banget ngajak gue main sepakbola di pekarangan rumah sampai semua
bunga-bunga koleksi nyokap gue hancur berantakan.
Emang keren. Gaya gue waktu itu
seperti diego michiels ah engga mungkin seperti lionel messi. Tapi sayang gue
seorang cewek dan di sebut-sebut ‘si ronaldowati’ padahal gue ga botak. Mau
disebut tarzan karena gue gondrong tapi gue ga berotot dan gue ga se-species
dengan hutan.
Jangankan main sepakbola, gue bahkan
suka main perang-perangan sama mereka. Gue ingat waktu itu , kalo kita main
perang-perangan pasti kita pada nongkrong di jurang samping rumah. Disitu
banyak pohon-pohon pepaya dan pisang kita saling lempar batu dan mendadak gue
berasa seperti orang hutan.
Meskipun begitu, gue bahagia bisa
terlahir dikeluarga gue. Bukan berapa besar rumah yang kita punya, bukan berapa
banyak gaji bokap gue , bukan seberapa hebat nyokap gue masak ngalahin master chef, tapi ini berbicara tentang
KEBERSAMAAN , KASIH SAYANG DAN KENANGAN yang kita buat bersama. Tentu saja itu
alasan mengapa gue ga lulus SNMPTN di UNHAS – universitas hasanuddin. Tuhan ga
ngijinin gue buat ninggalin rumah.
******
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!