Monday, July 6, 2015

Senyap - HANNA ENKA

Senyap. 

Kesendirian itu memelukku begitu erat. Seakan waktu yang berputar hanya untuk menyesakkan napasku terhadap kehidupan.

Apa kabar blog? Hanya ini tempatku berkeluh kesah. Ketika lelah datang, ketika hatiku dilanda dilema dan ketika aku tak percaya lagi pada, entah apakah itu takdir ataukah Tuhan.

Hidup berlalu begitu cepat. Kupikir, aku akan kuat dengan berbuat terbuka, nyatanya justru aku semakin lemah. Mungkin banyak yang menyimak. Aku harusnya lebih dewasa dalam menyikapi setiap hal yang terjadi. Namun, apakah ada yang paham bahwa aku yang sendiri yang punya siapa pun untuk menguatkan.

Letih. Selalu saja aku menitikkan air mata. Mungkin bukan jenuh. Hanya bertanya, mengapa tidak bisa memperbaiki sesuatu yang buruk itu menjadi lebih baik.

Kadang aku bertanya, terus-terusan; mengapa harus aku? Mengapa harus aku yang menerima ini? Aku kehilangan banyak hal. Yang bahkan lebih menyakitkan dari sekedar kehilangan orang tua.

Aku kehilangan semuanya. Keluarga yang dulu menyayangiku, teman-tekan yang dulu seringkali menghibur ku. Dan bahkan, aku kehilangan jalanku menuju apa yang seharusnya aku capai.

Benci. Tentu. Aku benci ketika ada lingkaran yang tak bisa ku jamah. Ketika orang lain tertawa bersama dengan satu-satunya orang yang aku miliki. Atau tentang mereka yang selalu mengolok-olokku seolah-olah tak mengerti akan tugas laki-laki yang begitu keras.

Apakah hanya dia yang berusaha? Peran seorang istri mengapa selalu dikesampingkan?

Aku sedih ketika orang-orang menyindirku, tentang bagaimana aku cerewet ketika meminta dia pulang. Seolah-olah aku yang tidak mengerti. Padahal, tahukah orang-orang, berap beratnya aku menanggung semua ini sendirian?

Semua yang dia lakukan kepada orang lain tak pernah serupa baik dengan apa yang aku dapatkan. Mungkin aku adalah orang yang terabaikan. Tak ada yang mengerti. Tak ada yang tahu. Atau tak mungkin ada yang bisa membaca.

Aku letih. Terkadang, walau aku meminta Tuhan mendengar, aku merasa Ia tak bersamaku. Bagaimana bisa, seharusnya ketika aku terjatuh, ketika aku sakit, aku berharap Ia ada untukku, sebentar saja. Namun sayang, raganya mungkin di Depan mataku, namun nyawanya hanya terbawa pada dunianya.

Aku menyesal. Banyak hal yang kusesalkan. Tentang bagaimana aku mencintai orang yang mencintaiku. Sekarang, apa aku paham seberapa terlukanya diriku? Aku harus bagaimana? Ke siapa? Tidak ada yang berdiri bersamaku. 

Sudah berapa lama aku menjadi orang aneh? Yang diam dalam duniaku sendirian. Berharap tak ada seorang pun yang menjamah ku karena takut lukaku akan meretas.

Membaca, aku hanya terlarut dalam dunia itu. Seakan kelam menyelimuti ku sedalam-dalamnya. Bukankah aku terlalu kesepian?

Aku selalu memimpikan banyak hal. Tentang bagaimana orang lain bahagia, aku juga menginginkannya. Mengapa di orang lain mereka bisa merasakan perhatian yang seharusnya jadi milikku?

Sekali lagi; mengapa harus aku? Mengapa harus aku yang hancur?

Aku lelah. Aku ingin semua usai. Tapi bagaimana. Hidup sebatang kara, dalam luka yang kelam, tidak akan bisa kembali tuk mengubah apa pun. Aku bahkan harus berpura-pura tegar untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya, hidupku perih.

Semua sudah terlambat. Apa yang harus aku pinta untuk kembali?

Aku benci, semua orang yang dekat dengannya. Aku benci ketika Ia lebih baik dengan perempuan lain dan andaikan orang tahu Ia tak pernah seperti itu terhadapku. Mengapa? Kenapa sekarang aku justru menyesal? Menikah? Apanya yang membahagiakan? Justru membuat stak, kehilangan arah dan gelap.

Sorot mataku mungkin mengisyaratkan kesedihan akan pedih yang memelukku sendirian. Aku harus bagaimana?

Mengungkapkannya lewat tempat ini, setidaknya melegakan hatiku walau tak sampai setengahnya. Aku selalu berharap, jika Tuhan menyayangiku seharusnya Ia di sini menolong ku. 

Aku sebatang kara. Ketika tugasku tak kuabaikan, padahal aku tahu aku selalu jadi yang terabaikan. 

Jika dulu aku tidak memilihnya, apakah hidupku akan lebih baik?

Aku hanya ingin satu, dia tahu bagaimana rasanya hatiku, mengerti dan mengobatinya. Bukan memperbaikinya, usai, waktu berlalu dan terjadi lagi. Kenapa? Kenapa harus seperti itu? Jika cinta itu mendewasakan lalu apakah harus hanya ada satu pengorbanan? Jika cinta itu adalah suci takdir, lalu apakah hanya akan selalu ada luka?

Dan jika cinta itu adalah dia, kenapa selalu Ia terlihat lebih peduli kepada orang lain ketimbang aku yang jelas-jelas adalah istrinya?

Aku mencoba kuat. Mungkin hanya cemburu. Tapi aku letih. Jika di antara teman-temannya adalah sesuatu yang membahagiakannya lantas mengapa Tuhan memberi aku untuknya?

Ataukah tiada Tuhan? Karena hidup ini berjalan dari kesalahan manusia itu sendiri?

----------------------

1 comment:

  1. perih tapi ga cengeng, aku suka dengan tulisan ini mbak, dan kalimat terakhir dari tulisan ini, pertanyaan sama yg sering aku tanyakan sendiri, :)

    ReplyDelete

Leave comments here!