Teman saya sedikit menyinggung tentang pemadam kebakaran yang meresahkan jalanan katanya. Saya kok langsung tidak (sangat-sangat) sependapat dengan argumen beliau.
Bukannya ingin merasa sok pintar, karena saya pun masih belajar. Bukannya sok tahu, karena saya pun masih mencari tahu. Tapi, kenyataan dari teman saya yang mampu berucap serupa itu, membenarkan pendapat saya tempo hari tentang status pekerjaan yang menurut saya manusia lain terlalu pandang remehkan.
Jaman sekarang, pekerjaan yang paling kaya itu mungkin adalah golongan atas. Presiden, anggota DPR, dokter, arsitek atau apa saja yang lainnya. Menurut saya, manusia yang tinggi derajatnya lewat pekerjaan yang terpandang itu seringkali meremehkan pekerjaan orang lain yang terlihat biasa-biasa saja.
Saya mungkin suatu saat bisa jadi artis. Bisa terkenal. Bisa menjadi sombong. Bisa berubah. Ya, karena manusia memang berubah. Dunia yang membuat mereka terlihat lebih baik daripada manusia lainnya.
Pemadam kebakaran. Menurut saya, mereka tidaklah salah melaju tanpa pandang bulu di jalanan. Toh, setahu saya, peraturannya kita selaku masyarakat awam pun mengerti, ketika sirine berbunyi hendaklah kita segera berhenti di pinggir jalan. Apa pun yang terjadi.
Pernah, saya terjebak satu kejadian. Ketika sirine pemadam kebakaran berkumandang di segala penjuru kota. Bertepatan dengan lampu merah yang sebentar lagi lampu hijau. Tepat di jalan Juanda. Seorang bapak, langsung hendak melesat begitu lampu hijau menyala. Nyaris bertepatan dengan mobil pemadam yang berjalan laju.
Saya pikir kita punya otak. Kita punya telinga. Tetapi kadang kita memandang remeh orang lain dan kondisi. Kiranya masih bisa lewat. Syukurnya dia tidak kenapa-kenapa. Setelah mobil pemadam melintas polisi lalu Lintas langsung berjalan ke arahnya, dan menggampar bapak tersebut. Sambil berteriak, "mau mati?"
Saya pikir itu tindakan yang benar.
Saya mencintai sosok pemadam kebakaran. Menurut saya mereka keren walau banyak yang tua-tua. Anak muda sekarang yang keren adalah yang berdasi, pikir orang. Padahal, laki-laki sejati, bisa jadi mereka yang rela menantang api bertaruh nyawa untuk orang lain.
Kita kadang memandang rendah mereka hanya karena status pemadam kebakaran. Pikirnya pekerjaan mudah dengan upah murah. Padahal, saat si jago merah melahap rumah kita, memangnya kamu berani menerjang api?
Toh, begitu mereka terlambat tiba di lokasi kejadian, manusia lain tahu apa, kecuali berani berargumen "pemadam ini lama sekali." Yang ada mereka lagi yang disalahkan. Dikatakan tidak becus dan profesional pada pekerjaan. Padahal, tanpa sadar kita juga sering menuntut mereka di jalanan. Iya tidak?
Yang ada juga kamu merengek karena ludes harta. Atau berteriak minta tolong ke semua orang yang belum tentu mereka mau repot-repot bantu kamu selamatkan barang-barang dan matikan apinya dengan baik.
Kalau pun mereka menabrak, memangnya mereka yang mau? Bukannya mereka sudah mengingatkan? Kadang kita sebagai manusia sangat keras kepala. Apakah mereka pembunuh di jalanan? Bukankah dari peringatan ada tanda kalau hendaklah kita menjaga diri kita masing-masing?
Para pemadam itu berjaga, meninggalkan rumah, mereka pun punya keluarga. Namun itu adalah pekerjaan. Bahaya bahkan bertaruh nyawa untuk menghidupi anak-anak mereka.
Saya pikir manusia takut mati. Nyatanya kita tidak terima ketika orang yang juta sayang pergi. Padahal kalian beriman, percaya Tuhan tentu paham kalau semua yang di dunia akan kembali ke asalnya. Lantas, jika kehilangan kenapa harus berlebihan?
Saya bicara seperti ini bukan berarti ketika hal ini menimpa saya, saya bisa tegar dan kuat. Nyatanya kehilangan dan menjadi sebatang kara itu bukanlah hal yang baik dan mudah. Bagaimana hidup ini bisa berlanjut ketika teman hidup sudah berlalu lebih dulu? Saya pikir saya pun akan dirundung duka. Sama. Karena saya manusia. Ada rasa tidak rela dan sedih yang belum tahu kapan akan berlalu.
Sama halnya dengan petani. Saya pernah melakukan survei sekali. Waktu itu karena iseng. Rupanya masih ada petani yang kasihan, ngutang untuk sekolahkan anaknya. Padahal yang saya pikir, tanpa petani kita tentu gak bisa makan nasi.
Mereka punya peran yang penting. Mana ada artis yang mau tampil kerja harus turun membajak sawah dulu. Mana ada seorang arsitek yang siap mau ke lokasi pembangunan harus turun menyemai padi di sawah?
Bisa dibayangkan, kalau sewaktu-waktu petani berhenti kerja, atau misalnya padi menjadi tidak seusai kebutuhan, mungkin manusia instan akan berucap, "petani ini malas."
Nyatanya? Masih banyak orang di luar sana yang tidak mengerti proses. Seakan-akan kalau mereka di posisi sebaliknya mereka akan lebih baik.
Hidup serba instan. Manusia semakin miskin akan rasa minta tolong dan terima kasih. Saya pikir ketidakadilan itu juga pelan-pelan muncul dari cara kita berucap untuk orang lain. Status. Kadang kita tidak sadar merendahkan posisi orang lain yang padahal mereka bekerja untuk hidup dan bukanlah pekerjaan yang sara.
Layak, bukanlah ketika kita bisa menyandang gelar dokter, bos perusahaan, atau apa pun itu. Tanpa kita sadar, walau kita sebagai seorang bos, kita juga butuh orang lain untuk menggerakkan kedua tangan kita secara lebar dan luas.
Kita, manusia, tumbuh dewasa. Semoga tidak arogan.
Untuk apa menyandang gelar bos ketika kita masih butuh bantuan orang lain tapi Tak siap untuk berucap kata tolong, maaf dan terima kasih?
Semua pekerjaan itu mulia. Jika kau mendapatkan gaji yang besar, bersyukurlah karena itu adalah bonus untukmu agar tidak lupa melihat ke bawah. Karena manusia itu adalah makhluk sosial. Sudah sejarahnya. Sampai nanti akan tetap seperti itu.
Manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Manusia hidup saling peduli dan tolong menolong. Dan manusia ada untuk saling menopang karena mereka saling membutuhkan. Jangan pernah merasa lebih baik atau yang paling baik, karena setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
------------------------------------------
Hanna Enka
Anak muda Indonesia
Duta IYC 2014
Sulawesi tengah
Catatan:
Tulisan ini tidak ada maksud menjelek-jelek kan pekerjaan lain ya. Hanya memberi perbandingan agar kita lebih mudah paham, bahwa tanpa sadar kita seringkali memandang remeh orang lain dan merasa seolah-olah kita adalah yang paling baik di antara manusia lainnya.
"Yang terlihat baik belum tentu lebih baik, dari mereka-mereka yang terlihat buruk." - Hanna Enka, penulis, 20 tahun
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!