Monday, June 1, 2015

PATAHAN YANG TAK TERJAMAH OLEH WAKTU (Bab-1) - Hanna Enka

B A B S A T U

Bulan Agustus yang basah.

Di sebuah kedai kopi yang berada di pusat kota, tak jauh dari lokasi pinggir pantai - Kafe Refresho, Dira duduk seorang diri. Ia sedang asik menikmati secangkir kopi hangat bertemankan sebakul ubi goreng yang beralaskan kertas nasi dan anyaman bambu. 

Tempat itu memang merupakan tempat kesukaan anak-anak muda kota. Tak heran, seringkali banyak dijumpai anak-anak hits maker yang menghabiskan waktu mereka untuk sekedar nongkrong, menikmati makanan khas atau pun sekedar menikmati musik akustik dari pekerja sampingan kafe.

Kota Palu, ibu kota provinsi Sulawesi Tengah yang senggang. Pikirnya.

Sudah tepat dua hari, Dira Merdhitia menjejakkan kaki di kota itu. Dira adalah seorang pelancong. Ia gemar sekali menjelajah tempat-tempat baru di wilayah nusantara. Dan kali ini, tujuannya terhenti tepat di kota yang katanya merupakan titik tengah seimbang dari negeri Indonesia.

Kota itu tak seramai perkiraan Dira. Bandara yang lenggang. Yang hanya ramai ketika jadwal keberangkatan dan kedatangan tiba saja. Tak seperti Jakarta, atau beberapa kota-kota besar lain, yang sibuk dengan ribuan manusia berseliweran dengan tas koper mereka. Sepi. Bahkan, tempat penjual kopi atau cinderamata khas daerah, tak akan kau temukan di tempat itu. Jika ditanya mengapa demikian, banyak yang beranggapan bahwa pajak membuka toko di bandara terlalu besar sehingga membuat para pemodal harus berpikir dua kali untuk memantapkan hati berjualan di tempat tersebut.

Bandara Mutiara Sis Al-Jufri itu terlihat kokoh berdiri dan masih berkilau. Tepatnya, bandara itu memang baru saja dibangun, setelah bandara lama yang bernama bandara Mutiara - tempat yang lebih mirip dengan stasiun bus - itu habis diluluh lantakkan. Tak seperti di Jakarta, di Palu Dira tak perlu kebingungan menentukan langkah untuk kunjungan selanjutnya.

"Dira?"

Ia mendongak, melihat ke arah sumber suara yang menyerukan namanya dengan lembut. Senyuman lebarnya merekah, tergambar di antara kedua sudut bibir tipisnya.

"Astaga!" Wanita berambut coklat gelap pendek sebahu itu berjalan ke arahnya, lalu memeluknya dengan erat. Tubuhnya yang kecil tenggelam dalam balasan pelukan yang diberikan oleh laki-laki itu. "Kau benar-benar datang?" Tanyanya tak percaya, berulang kali.

Sembari melepaskan pelukannya, "ya. Dua bulan kembali menghuni Jakarta membuatku sumpek. Aku merindukan perjalanan dan pengalaman baru seperti yang selalu aku lakukan biasanya."

"Bisa kulihat." Ujar wanita itu lalu tertawa kecil.

"Duduklah! Kau bisa menemaniku mengobrol sebentar, Jay."

Mereka duduk bersama sambil berbincang akan banyak hal. Bernostalgia akan pertemuan mereka terakhir kali. Lalu jatuh dalam canda tawa karena membahas akan hal-hal kecil yang terlihat berbeda di waktu sekarang. Kesendirian yang dirasakan oleh Dira sesaat menguap pergi entah ke mana. Kehadiran Jay di sana membuat suasana sepi itu terasa lebih baik dari sebelumnya.

Jaydee Anindita, adalah sahabatnya dulu ketika masa perkuliahan yang ia kenal tepat di salah satu acara perkumpulan mahasiswa Arsitektur se-Indonesia. Mereka bertemu di Jakarta beberapa tahun silam.

"Bagaimana kabarmu?" 

Jay menatap Dira lekat-lekat. Bola
Matanya yang berwarna kecoklatan itu beradu dengan senyum-senyum kecilnya yang tak hilang dari sinar wajahnya. Jujur saja, dulu mereka nyaris hampir berpacaran. Jay masih ingat ketika Dira mengatakan kalau ia menyukainya. Laki-laki itu bahkan merencanakan semuanya, dan memberitahukan kepadanya tentang perasaannya sebelum Jay meninggalkan ibukota Indonesia itu dan berangkat kembali ke daerah asalnya.

"Aku baik-baik saja." Jawabnya mengangkat kedua tangannya. "Bahkan semakin baik begitu melihatmu di sini. Di hadapanku." Katanya terkekeh lalu mereka tertawa bersama.

Langit semakin gelap. Tempat itu kian ramai. Lampu-lampu jalan yang berwarna kuning keemasan beradu dengan cahaya lampu sorot kendaraan malam. Angin laut pun terasa mengisi udara malam itu. Terdengar canda-gurau para pelanggan kafe itu berbaur bersama musik akustik iringan kafe yang menenangkan. Dira pun hanyut dalam ingatan perasaannya terhadap gadis itu di masa lalu.

"Berarti kamu bakalan eksplor kota Palu nih ya?" Tanya Jay yang kembali menyeruput jus alpukatnya yang telah habis setengah gelasnya.

"Ya. Dan sepertinya, aku membutuhkan rekan untuk menjelajah." Ujarnya terlihat berharap kalau Jay bersedia menemaninya. "Aku mungkin akan sedikit lama tinggal di kota ini. Kau bisa merekomendasikan tempat-tempat bagus yang bisa kukunjungi nantinya."

Jay mendesah dengan lembut. "Berharap aku bisa. Tapi tenanglah, aku akan meminta anak-anak Arsitektur seangkatanku untuk menemanimu. Bahaya kalau kau sampai kesasar, bisa-bisa ibumu sedih mencari." Ledeknya lalu tertawa. "Lihat!" Jay menyodorkan tangan kirinya ke depan Dira. Senyuman bahagia tak berhenti tergambar di wajah manisnya.

"Kau sudah bertunangan?" Dira tak percaya. Anggukan kepala Jay yang tak terlihat ragu itu mempertegas semuanya. Termasuk mengubah raut wajah Dira sesaat. Tersirat sedikit rasa sedih dan kecewa karena ia nyatanya harus menyerah dan melepas keinginannya untuk bisa kembali dekat dengan Jay seperti waktu tempo dulu.

"Aku akan menikah dalam waktu dekat. Berharap kau masih di sini ketika waktunya tiba. Aku ingin kau hadir dalam pernikahaku nantinya."

Dira tak menjawab. Ia memaksa seulas senyuman kecilnya. Bukan berarti ia tak bahagia mendengar kabar itu. Ia pun bukan siapa-siapa Jay, walaupun ia tahu bahwa ia pernah menyukai wanita itu. Sesaat, kedatangannya memilih kota itu betapa disesalinya.

"Wah, betapa beruntungnya laki-laki yang berhasil meluluhkan hatimu itu. Kurasa aku harus menyerah sekarang bahkan untuk niatku mendekatimu."

Jay manyun. Ia mencondongkan wajahnya ke depan Dira. "Kau masih menyukaiku?" Matanya menatap mata Dira dalam-dalam. "Kenapa kau tidak mengatakannya sejak dulu. Maksudku, bahkan ketika kau menembakku dulu kau mengatakan bahwa kita tak mesti pacaran karena kau benci pada jarak. Kau takut jarak akan melukai salah satu di antara kita. Padahal kalau kau tahu, aku bahkan tak keberatan. Kita bisa bertemu bila aku atau kau, kita saling mengunjungi satu sama lain."

Dira tertawa. Seakan tak percaya ia bisa mendengar gadis itu berbicara panjang lebar seperti dulu. 

Semua sudah terlambat. Perasaannya harus ia biarkan berlalu. Lewat tanpa beban.

-----------------------------

No comments:

Post a Comment

Leave comments here!