Honda Ryuta, adalah seorang wanita yang
hampir berumur 5o tahun. Walaupun dimakan oleh usia, ia bahkan masih menjalani
hidupnya layaknya perempuan umur 20 tahunan. Ia masih suka menghabiskan
waktunya dengan jalan-jalan, berbelanja, ataupun melakukan hal-hal yang sering
dilakukan oleh anak-anak muda jaman sekarang.
“Ryuta!” Suara melengking itu
menyebutkan namanya dengan napas terengah-engah. Suara yang dikenali Ryuta
dengan baik. Itu adalah suara milik Sena. “Maaf ya, lama menunggu.”
“Tidak apa-apa. Aku juga menikmati
waktuku. Ayo kita pergi!” Ryuta mengajak Sena keluar dari toko buku itu dan
pergi berkeliling. Mereka berhenti di sebuah gerobak penjual ubi rebus. Ryuta
mengajak Sena duduk di pinggiran jalan sambil menikmati ubi rebus yang masih
panas di bungkus dengan kertas roti.
Mereka duduk tepat berhadapan dengan
sebuah butik. Lama mata Ryuta memandang sebuah gaun putih terusan yang
terpajang di etalase tepat di depannya. “Hei, Sena-chan! Gaun terusan putih itu
pasti cocok untukmu. Menurutku, sayang sekali kalau tak pakai gaun putih selagi
muda.”
“Ryuta, aku mau bicara….” Sena tak
menghiraukan perkataan Ryuta barusan. Ia tertunduk malu-malu saat mengatakan ia
ingin bicara tentang sesuatu pada Ryuta.
“Kau tahu, putriku, dia cantik
sekali! Tapi, dia malah memilih pergi keluar negeri dan kawin lari.”
“Iya. Iya. Aku tahu. Aku pernah
melihat fotonya.”
“Dia bahkan tidak mengadakan resepsi
dan langsung ke Inggris bersama bule.” Ryuta menjelaskan dengan kesal.
“Ryutaaaaaa, aku mau mendiskusikan
sesuatu.” Sena setengah memelas. Ia memohon agar Ryuta mau mendengarkannya.
“Sena tidak suka ubi rebus pake
krim, ya? Aku sih mau, karena gula darahku rendah.”
“Ryutaaa!” Sena menggenggam kedua
tangan perempuan itu. Ia lalu mengerjap beberapa kali. “Ryuta! Aku…. Aku
menyukai seseorang!”
Sena Misuzuki, adalah seorang guru
TK. Di umurnya yang sebentar lagi menginjak 23 tahun, ia sama sekali belum
pernah merasakan yang namanya pacaran. Ia payah sekali dalam urusan laki-laki.
Mendengarnya mengatakan kalau dia menyukai seseorang, jelas saja mengagetkan untuk
Ryuta sendiri. Ryuta mengenal Sena dengan sangat baik. Pertama kali ia bertemu
dengan Sena di kursus Kimono, perempuan itu terlihat begitu pemalu. Ia juga
sangat alim dan penyendiri. Ryuta tak percaya, ternyata Sena yang pemalu itu
bisa menyukai seseorang.
“Siapa dia?” Ryuta ikut berjinjit
mengintip sebuah restoran Itali yang berada di seberang jalan. Sena bersembunyi
di balik bahunya yang kecil sambil diam tak bersuara. Ryuta berpikir, Sena luar
biasa bisa menemukan seseorang yang di sukainya di sudut kota Tokyo. Ini bahkan
kali pertama Ryuta melihat restoran itu semasa hidupnya.
Laki-laki yang dimaksudkan oleh Sena
merupakan laki-laki yang berwibawa. Ia cepat dan cekatan. Penampilannya pun terbilang
menyerupai orang berkelas. Rambutnya hitam dan wajahnya begitu khas orang
Jepang semestinya. Ia tinggi dan memiliki alis tebal dengan mata tidak terlalu
sipit.
“Sena, dia tipe laki-laki
kesukaanku.”
“Ryuta kan sudah punya suami?”
“Aku serius! Dia tipe kesukaanku.
Aku tidak yakin bisa mendukungmu.” Ryuta tertawa.
“Ah.” Sena tertunduk lesu.
“Hey, aku bercanda. Jangan sedih
begitu!” Ryuta membujuknya. “Orangnya seperti apa?”
“Dia adalah pemilik restoran itu.
Aku tidak tahu siapa namanya. Kadang-kadang, aku dan beberapa guru TK lainnya
sering membeli makan siang di restorannya. Aku melihatnya ketika itu. Ryuta,
kau tahu, dia bahkan pintar bahasa Itali!” Sena menjelaskannya dengan bangga.
Ryuta melihat perempuan itu
menyembunyikan wajahnya yang memerah karena menahan malu. Suara degup
jantungnya pun terdengar samar-samar diantara keramaian di pinggiran jalan.
Suara angin musim dingin pun tidak dapat menyembunyikan perasaan Sena yang
meluap-luap. Perempuan yang sedang jatuh cinta itu ibarat salju. Putih, bersih
dan dingin. Ia dingin, karena membekukan hatinya demi perasaannya untuk
seseorang.
Ryuta duduk di depan sebuah kotak
kardus besar berwarna coklat sambil asik menyenandungkan lagu dalam bahasa Jepang.
Ia terlihat senang sekali. Kyusuke, suaminya, terus menatapnya sedari tadi yang
bertingkah tidak seperti biasanya.
“Ada apa? Kau senang sekali?” Ia
lalu membuka lembaran Koran berikutnya. “Akhirnya, kau merapikan barang-barang
juga.”
“Memang masih dingin. Tetapi,
sebentar lagi bulan Desember akan berakhir.” Perempuan tua itu kembali
mengenang. Pikirannya menelusuri berbagai kenangan yang tertinggal jauh di
belakang. Ada beberapa kenangan yang sulit untuk ia lupakan namun tak bisa
untuk ia bagikan kepada orang lain. Walaupun Ryuta terlihat begitu ceria dan
enerjik setiap harinya, siapa yang mengira perempuan itu nyatanya menyimpan
sebuah kesedihan yang ia tutup rapat-rapat. Ia akan selalu kembali pada
kenangan di masa itu ketika musim dingin dimulai ataupun bahkan hampir
berakhir.
“Sudah lama juga ya. Padahal,
mungkin saja Misato masih ada di sini.”
Ryuta memandang kosong ke suaminya.
Ia bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Bibirnya terkatup rapat dan
keningnya terangkat. Ia tidak berpikir kalau sekarang adalah waktu yang tepat
untuk kembali terhanyut dalam kepedihan yang dulu nyaris membuatnya putus asa.
Perempuan itu tersenyum sesaat lalu tertawa.
Kyusuke meliriknya sekali lagi. “Ada
hal yang menyenangkan, ya?”
Ryuta mengangguk pelan. “Musim
dingin kan, musim yang penuh dengan cinta.” Ia memikirkan Sena. Perempuan
itulah yang membuatnya sering tertawa-tawa sendiri. Tiap kali memikirkan Sena,
Ryuta akan ikut merasa senang. Ia akan selalu mengingat saat Sena yang pemalu
itu berbagi cerita padanya. Sena selalu bertanya dalam kebingungannya, apa
yang harus aku lakukan sekarang? Tentu saja, Ryuta sangat senang karena
Sena mengandalkannya.
Sore itu, mereka merencanakan untuk
makan malam di restoran milik laki-laki yang di sukai oleh Sena. Ryuta sudah
tampil cantik dan mencolok.
“Wah, harga makanannya tidak begitu
mahal.” Ryuta mengomentari buku menu.
“Ryuta, topimu….” Sena terus menatap
topi milik Ryuta yang memiliki bunga-bunga di setiap sisinya dan menurutnya itu
terlalu berlebihan.
“Maafkan aku. Aku sengaja dandan,
karena kupikir ini adalah restoran mewah. “ Ia tertawa. “Kau harus tahu banyak
tentang dia. Jangan lupa, tanyakan siapa namanya. Dia harus tahu namamu. Kalian
harus berkenalan. Kita sudah susah payah datang kesini. Berusahalah!”
“Selamat datang.” Laki-laki itu
menghampiri meja Sena dan Ryuta. Ia membawakan dua gelas berisi air mineral
dingin lalu meletakannya tepat di depan keduanya. “Lho! Anda guru TK yang
sering datang kesini kan?” Ia memastikan kalau itu memang pelanggan yang
dikenalinya. “Kali ini datang bersama Ibu, ya?” Ia tersenyum.
“Ah, tidak juga.” Ryuta tertawa
kecil. Ia lalu memberi kode pada Sena agar segera menanyakan nama laki-laki
itu.
Sena terlihat gemetaran. “Ah,”
Wajahnya memerah seketika ketika laki-laki itu menatap lurus padanya tanpa
berkedip. “Aku pesan menu untuk dua orang.” Ia meremas kedua tangannya. Ia
jelas saja tidak akan bisa menanyakan nama laki-laki itu.
Walaupun Ryuta terus
menyemangatinya, Sena sama sekali tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun dari
mulutnya ketika ia berhadapan langsung dengan laki-laki itu. Seperti seorang
perempuan bodoh yang mati kutu.
Sena tak berbicara sedikit pun
mengomentari makanan yang mereka nikmati barusan. Tak lama setelahnya,
perempuan itu menangis. Air mata mengucur dari kedua bola matanya yang bulat
dan hitam. Ia bahkan meraung-raung dengan pelan. “Aku, selalu saja seperti ini
setiap kali menyukai seseorang. Hanya berani melihatnya dari jauh. Padahal,
jelas-jelas ada banyak kesempatan untuk mengajaknya bicara. Aku memang bodoh!
Tak bisa berbicara dengan berani. Mungkin, memang aku di takdirkan untuk hidup sendiri
selamanya.”
Ryuta ikut berjongkok tepat di
sebelah Sena. Ia menepuk pelan bahu perempuan itu. “Tak bisa? Memangnya Sena
sudah gagal berapa kali? Sena tetap mengambil langkah ke depan dan tidak
menyerah bukan?” Ia melihat Sena mulai mengangkat wajahnya. Wajahnya memerah
dan terlihat sembab. Butiran salju yang putih itu berkumpul di atas kepalanya,
di atas rambutnya yang hitam. Ryuta membuka dompetnya dan menyodorkan sebuah
foto pada Sena. “Lihatlah! Ini foto putriku.”
“Aku sudah sering melihatnya Ryuta.
Aku bahkan tidak tahu dia mirip siapa.” Suaranya serak.
“Dia menyukai guru bahasa
Inggrisnya. Tapi, dia bahkan tidak bagus dalam bahasa Inggris. Dia payah,
percintaannya pun kacau. Dia selalu saja menyalahkan dirinya setiap saat. Dia
bahkan sering mengoceh banyak hal yang tak masuk akal, termasuk mengapa ia tak
dilahirkan di Inggris saja supaya dia jago berbahasa Inggris.” Ryuta menghela
napas panjang. Ada asap mengepul keluar dari napasnya yang berhembus. “Tapi,
aku ingat kata-katanya yang selalu ia ucapkan padaku. Katanya, bisa disukai
oleh orang yang kita sukai adalah sebuah anugrah.”
Sena lalu tersenyum. Ryuta sangat
senang melihat gadis itu tidak sedih lagi. “Ryuta pernah ke Inggris?”
Ryuta mengangguk. “Pernah sekali.”
Katanya sambil mengacungkan jadi telunjuk kanannya. “Orang Inggris jalannya
cepat. Lebih cepat dari orang Osaka!”
Sena menyeka air matanya dan terus
bertanya tentang Inggris kepada Ryuta. Ia akhirnya merasa lebih baik. Setelah
mengeluarkan segalanya yang mengganjal hatinya, akhirnya perempuan itu merasa
bebannya sudah hilang walau tak sepenuhnya.
Keesokan harinya, di pagi hari yang
cerah, saat matahari malu-malu menampakkan dirinya dan salju yang masih saja
turun bertebaran dari langit. Sena memantapkan langkahnya. Restoran itu bahkan
sudah terlihat dengan jelas dari kejauhan. Laki-laki yang disukainya sedang
sibuk mengatur-atur beberapa kotak makan saat restorannya baru saja di buka.
Senyuman laki-laki itu merekah
menyambut pelanggan pertamanya pagi itu. Ia adalah Sena Misuzuki. Perempuan itu
lalu menyodorkan sebuah tempat bekal yang dibungkus dengan serbet cantik
berwarna merah kotak-kotak. “Aku membuat banyak kue Ohagi. Silahkan dimakan.
Ini sebagai ucapan karena waktu itu memberikan aku makanan penutup gratis.”
Katanya dengan terbata-bata.
“Terima kasih.” Laki-laki itu
tersenyum.
“Namaku, Sena Misuzuki. Aku tak
punya maksud apa-apa. Hanya ingin berkenalan denganmu.” Katanya sambil
membungkukkan badannya.
Sepertinya hari itu langit kota sushi
itu memang sedang cerah. Sena tak menyangka ia mendapatkan alamat email
laki-laki itu.
Sena terlihat sangat senang. Ia
menceritakannya kepada Ryuta dengan semangat yang menggebu-gebu. Sena sudah
berjanji pada Ryuta, kali ini ia akan benar-benar berusaha dengan keras dak tak
akan mengandalkan Ryuta lagi. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan
mengejar sendiri kebahagiaannya.
Ryuta menyusuri jalan setapak
diantara dua buah bangunan tinggi yang saling berhimpitan. Ia masih saja
memikirkan kata-kata Sena yang berhenti untuk mengandalkannya dan jujur saja
perempuan itu agak sedih mendengarnya. Matanya terpaku pada sosok seorang
laki-laki di depannya. Ia mengenali laki-laki itu. Orang yang di sukai oleh
Sena.
Laki-laki itu berdiri berdampingan
dengan seorang wanita berambut pirang. Ryuta melihat perempuan yang digandeng
oleh laki-laki itu tengah hamil. Ryuta tak percaya dengan apa yang baru saja
dilihatnya. Ia tidak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun. Pikirannya
melayang jauh. Ia memikirkan Sena. Bagaimana perempuan itu jika ia tahu tentang
ini?
Sena berjalan sambil sesekali
menggosokkan kedua telapak tangannya yang kedinginan lalu kembali memasukkannya
ke dalam saku jaketnya yang tebal. Ia masih merasakan dingin yang amat sangat
walaupun sudah memakai berlapis-lapis pakaian dan jaket wol yang tebal.
Langkahnya terhenti begitu ia melewati sebuah butik yang beberapa waktu yang
lalu ia lihat bersama Ryuta. Sebuah gaun putih terusan itu masih terpajang dengan indah di salah
satu manekin di etalase. Ia lalu mengingat kata-kata Ryuta, bahwa gaun itu
cocok untuknya. Tanpa pikir panjang, ia berjalan memasuki butik tersebut dan
tak lama keluar dengan sebuah bungkusan cantik dari kertas berlabelkan nama
butik tersebut. Sena membelinya. Ia akan mengenakan gaun itu untuk makan malam
dengan laki-laki sang pemilik restoran Italia. Harga gaun itu bahkan lebih
mahal dari yang dia kira. Namun, ia tidak menyesalinya. Sena berpikir bahwa ia
harus terlihat cantik saat makan malam itu.
Seyuman Sena terus terpajang di
bibirnya yang tipis. Bahkan dinginnya musim dingin pun mendadak tak terasa lagi
olehnya. Ia menghentikan langkahnya begitu melihat Ryuta dari kejauhan. Ia
melangkah dengan pelan mendekati perempuan itu dan ternyata itu memang Ryuta.
Perempuan itu sedang berdebat dengan seorang laki-laki yang ternyata ia kenal.
Laki-laki itu adalah orang yang ia sukai. “Ryuta, ada apa?” Ia bertanya lalu
berlari kecil mendekati mereka.
Ryuta terlihat kaget melihat Sena
sudah berdiri di depannya. Belum sempat ia menjelaskan apa yang terjadi ketika
laki-laki itu mulai berbicara mendahuluinya.
“Misuzuki, maafkan aku. Aku sudah
membuat Ibumu cemas. Makan malam itu, kita batalkan saja. Kau boleh mampir ke restoranku
lagi kapan-kapan.” Laki-laki itu berlalu begitu saja. Sena pun bahkan tak
sempat menahannya. Ia bahkan tidak mengerti sepenuhnya dengan apa yang
dimaksudkan olehnya.
“Tunggu!” Ia berusaha untuk
mencegatnya walaupun ia tahu itu sia-sia.
“Biarkan saja! Dia tak pantas
untukmu Sena.” Ryuta menarik lengan gadis itu. Tak sengaja, tas pembungkus gaun
yang dibeli oleh Sena terlempar begitu saja, terseret jauh di atas tumpukan
salju di pinggiran jalan lalu terlindas kendaraan yang melintas.
Raut wajah Sena berubah. Ia terlihat
sedih dan juga kesal. “Kenapa?” Suaranya serak. Perempuan itu menangis
sekarang. “Kenapa kau yang putuskan kalau laki-laki itu tak pantas untukku?
Apakah karena kau tidak menyukainya? Kau kejam! Kau mengacaukan percintaan
orang karena tak bisa mengurusi anakmu lagi!!!”
Ryuta tak menjawab. Hatinya terasa
sakit. Ia mungkin sudah melukai perasaan Sena. Tak ada gunanya ia masih tetap
bertahan di tempat itu. Walaupun tak ingin dan terlihat ragu, ia memutuskan
untuk pergi. Sena tak akan mau melihatnya lagi. Ia sudah benar-benar
menghancurkan perasaan perempuan itu. Malam itu, bahkan ketika salju turun
dengan derasnya. Air mata Sena pun tak dapat dibendung. Ia terus bersedih.
Tangannya bahkan gemetaran diantara menahan
dinginnya malam dan menahan kekesalannya kepada Ryuta yang bahkan belum
sempat ia berikan kesempatan untuk menjelaskan.
Pagi itu, Sena terlihat suram. Ia
tidak punya semangat seperti hari-hari biasanya. Ia bahkan menjadi pusat
perhatian semua guru-guru TK lainnya. Salah seorang rekannya menghampirinya. Ia
tahu bahwa Sena menyukai sang pemilik restoran itu. Walaupun takut-takut ia
menghampiri Sena yang duduk di meja kerjanya tanpa senyuman sedikit pun.
“Kenapa? Apa kau sudah dengar
beritanya?” Katanya berbisik. “Tentang laki-laki yang kau sukai itu. Dia sudah
punya istri. Ternyata, ia jago selingkuh!”
Sena berdiri dari tempatnya duduk.
Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh rekannya itu.
Dipikirannya, terlintas Ryuta. Bagaimana Ryuta sekarang? Dia sudah sangat
bersalah. Mengatakan kata-kata yang tidak semestinya pada perempuan itu dan
bahkan tidak memberikannya kesempatan untuk menjelaskan semuanya.
Musim dingin rasanya baru saja
dimulai, namun sekarang hampir berakhir. Ryuta berdiri di ambang pintu sambil
menengadahkan kepalanya menatap langit dan terus melihat salju yang turun tanpa
henti-hentinya. Tiga tahun sudah berlalu, ia kembali mengenang kematian
putrinya, Misato.
“Cantiknya.” Gumamnya.
Ryuta berpikir, mungkin dirinya
terlalu egois. Menganggap Sena adalah Misato dan terlalu ikut campur dalam
urusan hidup perempuan itu. Ia menangis. Di bawah putihnya salju yang turun, ia
menyesali perbuatannya yang akhirnya malah menyakiti Sena. Dia selalu
bertanya-tanya apakah Misato, putri kesayangan satu-satunya itu bahagia di surga?
Ia ingin membuat orang lain bahagia, agar dia bisa yakin bahwa Misato pun
bahagia di atas sana. Sesungguhnya, Ryuta ingin sekali. Ketika musim dingin
datang, ia ingin menyambutnya dengan suka cita yang sebenarnya. Ia ingin
berhenti terus hanyut dalam kenangan tentang masa lalunya yang sangat sulit ia
lupakan. Sedikit lagi, ia hampir berhasil. Sena yang hampir berhasil
membantunya.
Ryuta menatap langit hitam yang
gelap dengan butiran putih yang berjatuhan. Ia melihat sosok Misato tersenyum
di atas sana. Mungkin hanya ilusinya, namun ia tersenyum karena bisa melihat
putrinya. Sena sudah berdiri tepat di depannya berlinangan air mata yang tiada
hentinya.
“Maafkan aku.” Katanya tersedu-sedu.
“Maafkan aku sudah berkata-kata kasar padamu.”
Ryuta tersenyum. Ia memeluk Sena
dengan dekapan hangatnya. “Sena cantik sekali.” Katanya di bawah langit musim
dingin. “Seperti, seorang pengantin saja.”
“Ryuta, aku memang payah dalam
urusan cinta. Tapi, aku tidak akan menyerah seperti putrimu Misato. Tunggulah,
sampai aku menjadi pengantin sungguhan. Akan ku perlihatkan padamu! Aku tidak
akan menyerah Ryuta!”
Meski kehilangan orang tersayang,
meski menangis meraung-raung, butiran salju itu masih tetap turun tanpa henti. Walaupun
hati Sena membeku dan dingin, ia masih berharap seseorang akan datang untuk
menghangatkannya suatu saat nanti. Sena tidak menyesalinya. Umurnya bahkan
masih panjang sepanjang perjalannya menyambut hari-hari berikutnya. Ia mempercayai,
bahwa semua perempuan di dunia akan menikah suatu hari nanti. Walaupun sekarang
cintanya gagal, ia bahkan tidak menyesalinya karena cintanya terhadap Ryuta tak
akan ada akhirnya layaknya cinta seorang anak perempuan kepada Ibunya.
***
kisah ini akan berlanjut. tentang bagaimana perjuangan Sena mencari cinta sejatinya, demi menjadi seorang pengantin wanita yang selalu ia impikan selama ini...
@KampusFiksi #WinterStory2014
Hanna Enka
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!