Tuesday, January 14, 2014

CINTA SEBENING SALJU MUSIM DINGIN


             



             Honda Ryuta, adalah seorang wanita yang hampir berumur 5o tahun. Walaupun dimakan oleh usia, ia bahkan masih menjalani hidupnya layaknya perempuan umur 20 tahunan. Ia masih suka menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan, berbelanja, ataupun melakukan hal-hal yang sering dilakukan oleh anak-anak muda jaman sekarang.
            “Ryuta!” Suara melengking itu menyebutkan namanya dengan napas terengah-engah. Suara yang dikenali Ryuta dengan baik. Itu adalah suara milik Sena. “Maaf ya, lama menunggu.”
            “Tidak apa-apa. Aku juga menikmati waktuku. Ayo kita pergi!” Ryuta mengajak Sena keluar dari toko buku itu dan pergi berkeliling. Mereka berhenti di sebuah gerobak penjual ubi rebus. Ryuta mengajak Sena duduk di pinggiran jalan sambil menikmati ubi rebus yang masih panas di bungkus dengan kertas roti.
            Mereka duduk tepat berhadapan dengan sebuah butik. Lama mata Ryuta memandang sebuah gaun putih terusan yang terpajang di etalase tepat di depannya. “Hei, Sena-chan! Gaun terusan putih itu pasti cocok untukmu. Menurutku, sayang sekali kalau tak pakai gaun putih selagi muda.”
            “Ryuta, aku mau bicara….” Sena tak menghiraukan perkataan Ryuta barusan. Ia tertunduk malu-malu saat mengatakan ia ingin bicara tentang sesuatu pada Ryuta.
            “Kau tahu, putriku, dia cantik sekali! Tapi, dia malah memilih pergi keluar negeri dan kawin lari.”
            “Iya. Iya. Aku tahu. Aku pernah melihat fotonya.”
            “Dia bahkan tidak mengadakan resepsi dan langsung ke Inggris bersama bule.” Ryuta menjelaskan dengan kesal.
            “Ryutaaaaaa, aku mau mendiskusikan sesuatu.” Sena setengah memelas. Ia memohon agar Ryuta mau mendengarkannya.
            “Sena tidak suka ubi rebus pake krim, ya? Aku sih mau, karena gula darahku rendah.”
            “Ryutaaa!” Sena menggenggam kedua tangan perempuan itu. Ia lalu mengerjap beberapa kali. “Ryuta! Aku…. Aku menyukai seseorang!”
            Sena Misuzuki, adalah seorang guru TK. Di umurnya yang sebentar lagi menginjak 23 tahun, ia sama sekali belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Ia payah sekali dalam urusan laki-laki. Mendengarnya mengatakan kalau dia menyukai seseorang, jelas saja mengagetkan untuk Ryuta sendiri. Ryuta mengenal Sena dengan sangat baik. Pertama kali ia bertemu dengan Sena di kursus Kimono, perempuan itu terlihat begitu pemalu. Ia juga sangat alim dan penyendiri. Ryuta tak percaya, ternyata Sena yang pemalu itu bisa menyukai seseorang.
            “Siapa dia?” Ryuta ikut berjinjit mengintip sebuah restoran Itali yang berada di seberang jalan. Sena bersembunyi di balik bahunya yang kecil sambil diam tak bersuara. Ryuta berpikir, Sena luar biasa bisa menemukan seseorang yang di sukainya di sudut kota Tokyo. Ini bahkan kali pertama Ryuta melihat restoran itu semasa hidupnya.
            Laki-laki yang dimaksudkan oleh Sena merupakan laki-laki yang berwibawa. Ia cepat dan cekatan. Penampilannya pun terbilang menyerupai orang berkelas. Rambutnya hitam dan wajahnya begitu khas orang Jepang semestinya. Ia tinggi dan memiliki alis tebal dengan mata tidak terlalu sipit.
            “Sena, dia tipe laki-laki kesukaanku.”
            “Ryuta kan sudah punya suami?”
            “Aku serius! Dia tipe kesukaanku. Aku tidak yakin bisa mendukungmu.” Ryuta tertawa.
            “Ah.” Sena tertunduk lesu.
            “Hey, aku bercanda. Jangan sedih begitu!” Ryuta membujuknya. “Orangnya seperti apa?”
            “Dia adalah pemilik restoran itu. Aku tidak tahu siapa namanya. Kadang-kadang, aku dan beberapa guru TK lainnya sering membeli makan siang di restorannya. Aku melihatnya ketika itu. Ryuta, kau tahu, dia bahkan pintar bahasa Itali!” Sena menjelaskannya dengan bangga.
            Ryuta melihat perempuan itu menyembunyikan wajahnya yang memerah karena menahan malu. Suara degup jantungnya pun terdengar samar-samar diantara keramaian di pinggiran jalan. Suara angin musim dingin pun tidak dapat menyembunyikan perasaan Sena yang meluap-luap. Perempuan yang sedang jatuh cinta itu ibarat salju. Putih, bersih dan dingin. Ia dingin, karena membekukan hatinya demi perasaannya untuk seseorang.
            Ryuta duduk di depan sebuah kotak kardus besar berwarna coklat sambil asik menyenandungkan lagu dalam bahasa Jepang. Ia terlihat senang sekali. Kyusuke, suaminya, terus menatapnya sedari tadi yang bertingkah tidak seperti biasanya.
            “Ada apa? Kau senang sekali?” Ia lalu membuka lembaran Koran berikutnya. “Akhirnya, kau merapikan barang-barang juga.”
            “Memang masih dingin. Tetapi, sebentar lagi bulan Desember akan berakhir.” Perempuan tua itu kembali mengenang. Pikirannya menelusuri berbagai kenangan yang tertinggal jauh di belakang. Ada beberapa kenangan yang sulit untuk ia lupakan namun tak bisa untuk ia bagikan kepada orang lain. Walaupun Ryuta terlihat begitu ceria dan enerjik setiap harinya, siapa yang mengira perempuan itu nyatanya menyimpan sebuah kesedihan yang ia tutup rapat-rapat. Ia akan selalu kembali pada kenangan di masa itu ketika musim dingin dimulai ataupun bahkan hampir berakhir.
            “Sudah lama juga ya. Padahal, mungkin saja Misato masih ada di sini.”
            Ryuta memandang kosong ke suaminya. Ia bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Bibirnya terkatup rapat dan keningnya terangkat. Ia tidak berpikir kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk kembali terhanyut dalam kepedihan yang dulu nyaris membuatnya putus asa. Perempuan itu tersenyum sesaat lalu tertawa.
            Kyusuke meliriknya sekali lagi. “Ada hal yang menyenangkan, ya?”
            Ryuta mengangguk pelan. “Musim dingin kan, musim yang penuh dengan cinta.” Ia memikirkan Sena. Perempuan itulah yang membuatnya sering tertawa-tawa sendiri. Tiap kali memikirkan Sena, Ryuta akan ikut merasa senang. Ia akan selalu mengingat saat Sena yang pemalu itu berbagi cerita padanya. Sena selalu bertanya dalam kebingungannya, apa yang harus aku lakukan sekarang? Tentu saja, Ryuta sangat senang karena Sena mengandalkannya.
            Sore itu, mereka merencanakan untuk makan malam di restoran milik laki-laki yang di sukai oleh Sena. Ryuta sudah tampil cantik dan mencolok.
            “Wah, harga makanannya tidak begitu mahal.” Ryuta mengomentari buku menu.
            “Ryuta, topimu….” Sena terus menatap topi milik Ryuta yang memiliki bunga-bunga di setiap sisinya dan menurutnya itu terlalu berlebihan.
            “Maafkan aku. Aku sengaja dandan, karena kupikir ini adalah restoran mewah. “ Ia tertawa. “Kau harus tahu banyak tentang dia. Jangan lupa, tanyakan siapa namanya. Dia harus tahu namamu. Kalian harus berkenalan. Kita sudah susah payah datang kesini. Berusahalah!”
            “Selamat datang.” Laki-laki itu menghampiri meja Sena dan Ryuta. Ia membawakan dua gelas berisi air mineral dingin lalu meletakannya tepat di depan keduanya. “Lho! Anda guru TK yang sering datang kesini kan?” Ia memastikan kalau itu memang pelanggan yang dikenalinya. “Kali ini datang bersama Ibu, ya?” Ia tersenyum.
            “Ah, tidak juga.” Ryuta tertawa kecil. Ia lalu memberi kode pada Sena agar segera menanyakan nama laki-laki itu.
            Sena terlihat gemetaran. “Ah,” Wajahnya memerah seketika ketika laki-laki itu menatap lurus padanya tanpa berkedip. “Aku pesan menu untuk dua orang.” Ia meremas kedua tangannya. Ia jelas saja tidak akan bisa menanyakan nama laki-laki itu.
            Walaupun Ryuta terus menyemangatinya, Sena sama sekali tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya ketika ia berhadapan langsung dengan laki-laki itu. Seperti seorang perempuan bodoh yang mati kutu.
            Sena tak berbicara sedikit pun mengomentari makanan yang mereka nikmati barusan. Tak lama setelahnya, perempuan itu menangis. Air mata mengucur dari kedua bola matanya yang bulat dan hitam. Ia bahkan meraung-raung dengan pelan. “Aku, selalu saja seperti ini setiap kali menyukai seseorang. Hanya berani melihatnya dari jauh. Padahal, jelas-jelas ada banyak kesempatan untuk mengajaknya bicara. Aku memang bodoh! Tak bisa berbicara dengan berani. Mungkin, memang aku di takdirkan untuk hidup sendiri selamanya.”
            Ryuta ikut berjongkok tepat di sebelah Sena. Ia menepuk pelan bahu perempuan itu. “Tak bisa? Memangnya Sena sudah gagal berapa kali? Sena tetap mengambil langkah ke depan dan tidak menyerah bukan?” Ia melihat Sena mulai mengangkat wajahnya. Wajahnya memerah dan terlihat sembab. Butiran salju yang putih itu berkumpul di atas kepalanya, di atas rambutnya yang hitam. Ryuta membuka dompetnya dan menyodorkan sebuah foto pada Sena. “Lihatlah! Ini foto putriku.”
            “Aku sudah sering melihatnya Ryuta. Aku bahkan tidak tahu dia mirip siapa.” Suaranya serak.
            “Dia menyukai guru bahasa Inggrisnya. Tapi, dia bahkan tidak bagus dalam bahasa Inggris. Dia payah, percintaannya pun kacau. Dia selalu saja menyalahkan dirinya setiap saat. Dia bahkan sering mengoceh banyak hal yang tak masuk akal, termasuk mengapa ia tak dilahirkan di Inggris saja supaya dia jago berbahasa Inggris.” Ryuta menghela napas panjang. Ada asap mengepul keluar dari napasnya yang berhembus. “Tapi, aku ingat kata-katanya yang selalu ia ucapkan padaku. Katanya, bisa disukai oleh orang yang kita sukai adalah sebuah anugrah.”
            Sena lalu tersenyum. Ryuta sangat senang melihat gadis itu tidak sedih lagi. “Ryuta pernah ke Inggris?”
            Ryuta mengangguk. “Pernah sekali.” Katanya sambil mengacungkan jadi telunjuk kanannya. “Orang Inggris jalannya cepat. Lebih cepat dari orang Osaka!”
            Sena menyeka air matanya dan terus bertanya tentang Inggris kepada Ryuta. Ia akhirnya merasa lebih baik. Setelah mengeluarkan segalanya yang mengganjal hatinya, akhirnya perempuan itu merasa bebannya sudah hilang walau tak sepenuhnya.
            Keesokan harinya, di pagi hari yang cerah, saat matahari malu-malu menampakkan dirinya dan salju yang masih saja turun bertebaran dari langit. Sena memantapkan langkahnya. Restoran itu bahkan sudah terlihat dengan jelas dari kejauhan. Laki-laki yang disukainya sedang sibuk mengatur-atur beberapa kotak makan saat restorannya baru saja di buka.
            Senyuman laki-laki itu merekah menyambut pelanggan pertamanya pagi itu. Ia adalah Sena Misuzuki. Perempuan itu lalu menyodorkan sebuah tempat bekal yang dibungkus dengan serbet cantik berwarna merah kotak-kotak. “Aku membuat banyak kue Ohagi. Silahkan dimakan. Ini sebagai ucapan karena waktu itu memberikan aku makanan penutup gratis.” Katanya dengan terbata-bata.
            “Terima kasih.” Laki-laki itu tersenyum.
            “Namaku, Sena Misuzuki. Aku tak punya maksud apa-apa. Hanya ingin berkenalan denganmu.” Katanya sambil membungkukkan badannya.
            Sepertinya hari itu langit kota sushi itu memang sedang cerah. Sena tak menyangka ia mendapatkan alamat email laki-laki itu.
            Sena terlihat sangat senang. Ia menceritakannya kepada Ryuta dengan semangat yang menggebu-gebu. Sena sudah berjanji pada Ryuta, kali ini ia akan benar-benar berusaha dengan keras dak tak akan mengandalkan Ryuta lagi. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan mengejar sendiri kebahagiaannya.
            Ryuta menyusuri jalan setapak diantara dua buah bangunan tinggi yang saling berhimpitan. Ia masih saja memikirkan kata-kata Sena yang berhenti untuk mengandalkannya dan jujur saja perempuan itu agak sedih mendengarnya. Matanya terpaku pada sosok seorang laki-laki di depannya. Ia mengenali laki-laki itu. Orang yang di sukai oleh Sena.
            Laki-laki itu berdiri berdampingan dengan seorang wanita berambut pirang. Ryuta melihat perempuan yang digandeng oleh laki-laki itu tengah hamil. Ryuta tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ia tidak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun. Pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan Sena. Bagaimana perempuan itu jika ia tahu tentang ini?
            Sena berjalan sambil sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya yang kedinginan lalu kembali memasukkannya ke dalam saku jaketnya yang tebal. Ia masih merasakan dingin yang amat sangat walaupun sudah memakai berlapis-lapis pakaian dan jaket wol yang tebal. Langkahnya terhenti begitu ia melewati sebuah butik yang beberapa waktu yang lalu ia lihat bersama Ryuta. Sebuah gaun putih terusan  itu masih terpajang dengan indah di salah satu manekin di etalase. Ia lalu mengingat kata-kata Ryuta, bahwa gaun itu cocok untuknya. Tanpa pikir panjang, ia berjalan memasuki butik tersebut dan tak lama keluar dengan sebuah bungkusan cantik dari kertas berlabelkan nama butik tersebut. Sena membelinya. Ia akan mengenakan gaun itu untuk makan malam dengan laki-laki sang pemilik restoran Italia. Harga gaun itu bahkan lebih mahal dari yang dia kira. Namun, ia tidak menyesalinya. Sena berpikir bahwa ia harus terlihat cantik saat makan malam itu.
            Seyuman Sena terus terpajang di bibirnya yang tipis. Bahkan dinginnya musim dingin pun mendadak tak terasa lagi olehnya. Ia menghentikan langkahnya begitu melihat Ryuta dari kejauhan. Ia melangkah dengan pelan mendekati perempuan itu dan ternyata itu memang Ryuta. Perempuan itu sedang berdebat dengan seorang laki-laki yang ternyata ia kenal. Laki-laki itu adalah orang yang ia sukai. “Ryuta, ada apa?” Ia bertanya lalu berlari kecil mendekati mereka.
            Ryuta terlihat kaget melihat Sena sudah berdiri di depannya. Belum sempat ia menjelaskan apa yang terjadi ketika laki-laki itu mulai berbicara mendahuluinya.
            “Misuzuki, maafkan aku. Aku sudah membuat Ibumu cemas. Makan malam itu, kita batalkan saja. Kau boleh mampir ke restoranku lagi kapan-kapan.” Laki-laki itu berlalu begitu saja. Sena pun bahkan tak sempat menahannya. Ia bahkan tidak mengerti sepenuhnya dengan apa yang dimaksudkan olehnya.
            “Tunggu!” Ia berusaha untuk mencegatnya walaupun ia tahu itu sia-sia.
            “Biarkan saja! Dia tak pantas untukmu Sena.” Ryuta menarik lengan gadis itu. Tak sengaja, tas pembungkus gaun yang dibeli oleh Sena terlempar begitu saja, terseret jauh di atas tumpukan salju di pinggiran jalan lalu terlindas kendaraan yang melintas.
            Raut wajah Sena berubah. Ia terlihat sedih dan juga kesal. “Kenapa?” Suaranya serak. Perempuan itu menangis sekarang. “Kenapa kau yang putuskan kalau laki-laki itu tak pantas untukku? Apakah karena kau tidak menyukainya? Kau kejam! Kau mengacaukan percintaan orang karena tak bisa mengurusi anakmu lagi!!!”
            Ryuta tak menjawab. Hatinya terasa sakit. Ia mungkin sudah melukai perasaan Sena. Tak ada gunanya ia masih tetap bertahan di tempat itu. Walaupun tak ingin dan terlihat ragu, ia memutuskan untuk pergi. Sena tak akan mau melihatnya lagi. Ia sudah benar-benar menghancurkan perasaan perempuan itu. Malam itu, bahkan ketika salju turun dengan derasnya. Air mata Sena pun tak dapat dibendung. Ia terus bersedih. Tangannya bahkan gemetaran diantara menahan  dinginnya malam dan menahan kekesalannya kepada Ryuta yang bahkan belum sempat ia berikan kesempatan untuk menjelaskan.
            Pagi itu, Sena terlihat suram. Ia tidak punya semangat seperti hari-hari biasanya. Ia bahkan menjadi pusat perhatian semua guru-guru TK lainnya. Salah seorang rekannya menghampirinya. Ia tahu bahwa Sena menyukai sang pemilik restoran itu. Walaupun takut-takut ia menghampiri Sena yang duduk di meja kerjanya tanpa senyuman sedikit pun.
            “Kenapa? Apa kau sudah dengar beritanya?” Katanya berbisik. “Tentang laki-laki yang kau sukai itu. Dia sudah punya istri. Ternyata, ia jago selingkuh!”
            Sena berdiri dari tempatnya duduk. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh rekannya itu. Dipikirannya, terlintas Ryuta. Bagaimana Ryuta sekarang? Dia sudah sangat bersalah. Mengatakan kata-kata yang tidak semestinya pada perempuan itu dan bahkan tidak memberikannya kesempatan untuk menjelaskan semuanya.


            Musim dingin rasanya baru saja dimulai, namun sekarang hampir berakhir. Ryuta berdiri di ambang pintu sambil menengadahkan kepalanya menatap langit dan terus melihat salju yang turun tanpa henti-hentinya. Tiga tahun sudah berlalu, ia kembali mengenang kematian putrinya, Misato.
            “Cantiknya.” Gumamnya.
            Ryuta berpikir, mungkin dirinya terlalu egois. Menganggap Sena adalah Misato dan terlalu ikut campur dalam urusan hidup perempuan itu. Ia menangis. Di bawah putihnya salju yang turun, ia menyesali perbuatannya yang akhirnya malah menyakiti Sena. Dia selalu bertanya-tanya apakah Misato, putri kesayangan satu-satunya itu bahagia di surga? Ia ingin membuat orang lain bahagia, agar dia bisa yakin bahwa Misato pun bahagia di atas sana. Sesungguhnya, Ryuta ingin sekali. Ketika musim dingin datang, ia ingin menyambutnya dengan suka cita yang sebenarnya. Ia ingin berhenti terus hanyut dalam kenangan tentang masa lalunya yang sangat sulit ia lupakan. Sedikit lagi, ia hampir berhasil. Sena yang hampir berhasil membantunya.
            Ryuta menatap langit hitam yang gelap dengan butiran putih yang berjatuhan. Ia melihat sosok Misato tersenyum di atas sana. Mungkin hanya ilusinya, namun ia tersenyum karena bisa melihat putrinya. Sena sudah berdiri tepat di depannya berlinangan air mata yang tiada hentinya.
            “Maafkan aku.” Katanya tersedu-sedu. “Maafkan aku sudah berkata-kata kasar padamu.”
            Ryuta tersenyum. Ia memeluk Sena dengan dekapan hangatnya. “Sena cantik sekali.” Katanya di bawah langit musim dingin. “Seperti, seorang pengantin saja.”
            “Ryuta, aku memang payah dalam urusan cinta. Tapi, aku tidak akan menyerah seperti putrimu Misato. Tunggulah, sampai aku menjadi pengantin sungguhan. Akan ku perlihatkan padamu! Aku tidak akan menyerah Ryuta!”
            Meski kehilangan orang tersayang, meski menangis meraung-raung, butiran salju itu masih tetap turun tanpa henti. Walaupun hati Sena membeku dan dingin, ia masih berharap seseorang akan datang untuk menghangatkannya suatu saat nanti. Sena tidak menyesalinya. Umurnya bahkan masih panjang sepanjang perjalannya menyambut hari-hari berikutnya. Ia mempercayai, bahwa semua perempuan di dunia akan menikah suatu hari nanti. Walaupun sekarang cintanya gagal, ia bahkan tidak menyesalinya karena cintanya terhadap Ryuta tak akan ada akhirnya layaknya cinta seorang anak perempuan kepada Ibunya.
***


kisah ini akan berlanjut. tentang bagaimana perjuangan Sena mencari cinta sejatinya, demi menjadi seorang pengantin wanita yang selalu ia impikan selama ini...

@KampusFiksi #WinterStory2014

Hanna Enka

No comments:

Post a Comment

Leave comments here!