Aku ingat bagaimana ketertakutan itu selalu menghampiriku.Disetiap malam saat aku tertidur, aku selalu terjaga dan terbangun dalam napasku yang terengah-engah seakan-akan aku dikejar oleh ‘dia’ yang mencoba untuk meraih kehidupanku mungkin suatu saat nanti.
Seharusnya tak
ku saksikan saat kecelakaan naas itu terjadi. Seharusnya aku tak menjadi saksi
atas pembunuhan tragis itu. Sebuah mobil yang di tabrak sebuah truk besar itu
terhempas kepinggir jalan. Dua orang penumpangnya, seorang laki-laki umur 30 an
dan seorang anak umur 5 tahun menjadi korban nya.
Mereka belum
mati saat itu. Tidak. Sampai aku menyaksikan sendiri bagaimana sang pengemudi
truk menghempaskan sebilah pipa besi dan menghantam ayah anak itu hingga darah
bercipratan kemana-mana. Masih terdengar jelas, suara raungan anak itu menangis
berteriak memanggil ayahnya. Ia menjerit dan menangis sekuat tenaga dan
sebisanya.
Namun, apa
yang harusaku lakukan? Apakah aku hanya harus berdiam diri ditempatku? Menyaksikan
dari balik pohon besar tanpa melakukan apa-apa?
Aku tidak
mengerti apa yang ada di benakku. Tetapi ya, aku harus melakukan sesuatu.
Aku merogoh
saku ku perlahan dan kuraih ponselku dengan tanganku yang gemetar hebat.
Aku memotret
bagaimana laki-laki itu mengayunkan tongkat besinya hendak menghantam kepala
anak itu. Siapa sangka, niatnya tak jadi karena aku gagalkan.
“Senyuuuum!
CEKLEK!” suara ponselku yang nyaring membuat penjahat itu berbalik menoleh ke
arahku.
Aku terdiam
sesaat. Mata nya yang setajam elang itu menatapku dengan tatapan akan membunuh.
Sempat langkah kaki ku kaku ditempat. Aku tak bisa lari walau aku ingin.
Benakku berteriak
“Larilah nak! Lari.”
Aku berharap
anak yang di dalam mobil itu mendengar teriakan dalam benakku itu. Aku melihat
penjahat itu berlari kearahku. Aku tak perlu berpikir panjang. Aku belum ingin
mati sekarang.
Aku lari. Jauh.
Kencang sekencang yang ku bisa. Sampai akhirnya aku berhasil menemukan tempat
persembunyian yang tidak begitu aku yakini itu akan aman.
“Tolong aku
tuhan!” aku memohon. Tubuhku gemetar. Bibirku keluh. Aku sangat ketakutan.
“Sembunyi
dimana kamu!!!” penjahat itu geram. Ia memukuli setiap semak-semak yang
dilewatinya dengan pipa besinya.
Aku hanya
bisa diam ditempatku dn berharap ia tak menemukanku.
Suara sirine
dari mobil polisi mulai terdengar dan itu membuat penjahat tersebut jengkel
karena ia tak berhasil menyelesaikan misinya.
“Kau bisa
mendengarku? Kau pasti bisa mendengarku….”
Ia
menghembuskan napasnya dengan keras.
“Kau pasti
melihatku tadi…” Lalu, “Kau tahu kenapa aku membunuh orang itu?”
“Karena dia
mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ia katakan. Kalau kau masih tetap ingin
hidup, tutup mulutmu. Dan jangan ikut campur. Maka aku tak akan mencarimu. Kalau
tak ada saksi maka itu hanya akan dianggap sebagai kecelakaan mobil biasa. Kalau
kau ke kantor polisi dan mengatakan bahwa aku pembunuhnya……”
“… Maka aku
akan melakukan apa yang aku lakukan tadi kepadamu. Kalau kau melaporkan nya
pada orang tuamu, aku juga akan membunuh orang tuamu. Jadi, tutup mulutmu kalau
kau tak mau mati di tanganku….!!”
Aku membuka
perlahan mataku yang terpejam. Kejadian itu, baru saja terjadi dan selalu
terbawa dalam mimpi burukku.
Bagaimana bisa
aku diam saja?
Aku menyaksikan
berita tentang kecelakaan itu yang disiarkan disemua stasiun televise. Bocah umur
5 tahun itu mendadak bisu karena ketakutan. Ia bahkan tak dipercayai oleh
polisi karena ia hanya anak kecil dan tidak ada saksi lain yang dibutuhkan
untuk penyelidikan.
Bagaimana? Apakah
aku harus muncul? Aku memiliki bukti yang kuat dan aku adalah saksi.
Hari ini
adalah tepat siding akan dimulai.
Entah apa
yang menguatkan hatiku. Aku ingin muncul di dalam persidangan sebagai saksi dan
mengungkap kejahatan orang itu. Membantu anak kecil tak berdosa yang tak
sepenuhnya dipercaya.
Aku melangkahkan
kakiku dengan agak ragu dan perlahan membuka pintu ruang sidang.
Mataku menyapu
kesetiap sudut ruangan. Padanganku bertemu dengan tatapan dingin penjahat itu. Wajahnya
berubah seakan ingin mencekikku saat itu juga.
“Aku sudah
disini dan aku tak bisa kembali.” Batinku coba meyakinkan.
Aku menarik
napas dengan susah payah dan menghembuskan nya dengan keras. Terdengar bagaimana
jantungku seakan akan mau jatuh keluar dari tempatnya.
“Aku
menyaksikan kejadian itu semalam. Dan aku melihat laki-laki itu memukuli ayah
anak ini dengan pipa besi hingga tewas….”
Semua orang
yang berada diruang sidang saling berbisik dan berpandangan. Masih tampak ada
keraguan diwajah mereka.
Aku merogoh
kantong jas sekolahku dan meraih ponselku.
“Aku punya
buktinya disini.”
Terdakwa itu
berdiri dari tempatnya dan berteriak dengan keras. “AAAH! Apa yang kau lakukan.
Aku akan membunuhmu ….”
Ia berjalan
kearahku dan mencekikku dengan keras. Aku merasa kesakitan. Hingga akhirnya,
laki-laki itu di jauhkan dariku.
“Aku akan
membunuhmu… aku akan membunuhmuuuuu…..” suaranya yang penuh kebencian itu
membahana di seluruh ruang sidang.
Aku menangis
sejadi-jadinya mengingat apa yang beberapa tahun yang lalu pernah terjadi.
Tentang bagaimana
laki-laki umur 20 an itu mati didepanku. Tidak, ia masih sekarat. Dengan beberapa
luka tusuk di dadanya.
“Kenapa?”
Aku menjerit.
“Bukankah
sepuluh tahun yang lalu aku telah berjanji padamu…” anak laki-laki itu mencoba
menarik napas dengan susah payah. Ya, laki-laki itu adalah bocah 5 tahun yang
pernah aku tolong di saat persidangan.
“Tapi
bagaimana bisa ini berakhir seperti ini?” aku menangis.
Laki-laki
itu sudah keluar dari penjara dan ia menepati apa yang pernah dia ucapkan bahwa
ia akan membunuhku. Aku dapat melihatnya walau buram karena air mataku. Laki-laki
itu tewas dengan beberapa luka memar dikepala dan luka tusuk di tubuhnya. Ia berkelahi
hebat dengan bocah 5 tahun yang sudah besar yang terbaring sekarat didepanku.
Lukaku di
bagian punggung mulai terasa perih dan aku mulai kesakitan.
“Kalau aku
tak membunuhnya, dia akan selalu mengintaimu…”
“Tapi,
kenapa kau harus mengorbankan dirimu?”
“Tahukah? 10
tahun yang lalu kau mengorbankan dirimu untuk membelaku. Kau berani memberikan
kesaksian walau aku tahu sebenarnya kau ketakutan bukan…”
Aku tak
menjawab. Tubuhku gemetar.
“Sekarang,
tidak akan ada lagi orang yang membuatmu ketakutan. Dia sudah mati….” Bocah itu
mencoba tertawa walau dipaksakan.
Aku menggeleng
dan menangis terisak.
“Janjiku, akhirnya
tertepati. Aku, 10 tahun yang lalu berjanji, akan melindungimu….” Ia memejamkan
matanya sesaat. “Kau harus tahu, mengapa aku berusaha sekeras ini.”
“Mengapa?”
“Karena aku
harus melindungi mu. Cinta pertamaku.”
Setiap saat aku selalu meneteskan air mata setiap kali mengingat kejadian itu. Tentang bagaimana bocah itu jatuh cinta padaku dan tentang bagaimana ia melindungiku dari sesuatu yang sangat aku takuti. Sampai mati pun, itu tak akan bisa aku lupakan.
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!