Monday, September 16, 2013

[Fanpage Only] GAGASMEDIA Writing Challenge: Death Scene no. 4



Aku ingat bagaimana ketertakutan itu selalu menghampiriku.
Disetiap malam saat aku tertidur, aku selalu terjaga dan terbangun dalam napasku yang terengah-engah seakan-akan aku dikejar oleh ‘dia’ yang mencoba untuk meraih kehidupanku mungkin suatu saat nanti.





Seharusnya tak ku saksikan saat kecelakaan naas itu terjadi. Seharusnya aku tak menjadi saksi atas pembunuhan tragis itu. Sebuah mobil yang di tabrak sebuah truk besar itu terhempas kepinggir jalan. Dua orang penumpangnya, seorang laki-laki umur 30 an dan seorang anak umur 5 tahun menjadi korban nya.

Mereka belum mati saat itu. Tidak. Sampai aku menyaksikan sendiri bagaimana sang pengemudi truk menghempaskan sebilah pipa besi dan menghantam ayah anak itu hingga darah bercipratan kemana-mana. Masih terdengar jelas, suara raungan anak itu menangis berteriak memanggil ayahnya. Ia menjerit dan menangis sekuat tenaga dan sebisanya.

Namun, apa yang harusaku lakukan? Apakah aku hanya harus berdiam diri ditempatku? Menyaksikan dari balik pohon besar tanpa melakukan apa-apa?

Aku tidak mengerti apa yang ada di benakku. Tetapi ya, aku harus melakukan sesuatu.
Aku merogoh saku ku perlahan dan kuraih ponselku dengan tanganku yang gemetar hebat.
Aku memotret bagaimana laki-laki itu mengayunkan tongkat besinya hendak menghantam kepala anak itu. Siapa sangka, niatnya tak jadi karena aku gagalkan.
“Senyuuuum! CEKLEK!” suara ponselku yang nyaring membuat penjahat itu berbalik menoleh ke arahku.

Aku terdiam sesaat. Mata nya yang setajam elang itu menatapku dengan tatapan akan membunuh. Sempat langkah kaki ku kaku ditempat. Aku tak bisa lari walau aku ingin.
Benakku berteriak “Larilah nak! Lari.” 

Aku berharap anak yang di dalam mobil itu mendengar teriakan dalam benakku itu. Aku melihat penjahat itu berlari kearahku. Aku tak perlu berpikir panjang. Aku belum ingin mati sekarang.
Aku lari. Jauh. Kencang sekencang yang ku bisa. Sampai akhirnya aku berhasil menemukan tempat persembunyian yang tidak begitu aku yakini itu akan aman.

“Tolong aku tuhan!” aku memohon. Tubuhku gemetar. Bibirku keluh. Aku sangat ketakutan.

“Sembunyi dimana kamu!!!” penjahat itu geram. Ia memukuli setiap semak-semak yang dilewatinya dengan pipa besinya.

Aku hanya bisa diam ditempatku dn berharap ia tak menemukanku.
Suara sirine dari mobil polisi mulai terdengar dan itu membuat penjahat tersebut jengkel karena ia tak berhasil menyelesaikan misinya.
“Kau bisa mendengarku? Kau pasti bisa mendengarku….”
Ia menghembuskan napasnya dengan keras.
“Kau pasti melihatku tadi…” Lalu, “Kau tahu kenapa aku membunuh orang itu?”
“Karena dia mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ia katakan. Kalau kau masih tetap ingin hidup, tutup mulutmu. Dan jangan ikut campur. Maka aku tak akan mencarimu. Kalau tak ada saksi maka itu hanya akan dianggap sebagai kecelakaan mobil biasa. Kalau kau ke kantor polisi dan mengatakan bahwa aku pembunuhnya……”
“… Maka aku akan melakukan apa yang aku lakukan tadi kepadamu. Kalau kau melaporkan nya pada orang tuamu, aku juga akan membunuh orang tuamu. Jadi, tutup mulutmu kalau kau tak mau mati di tanganku….!!”

Aku membuka perlahan mataku yang terpejam. Kejadian itu, baru saja terjadi dan selalu terbawa dalam mimpi burukku.
Bagaimana bisa aku diam saja?
Aku menyaksikan berita tentang kecelakaan itu yang disiarkan disemua stasiun televise. Bocah umur 5 tahun itu mendadak bisu karena ketakutan. Ia bahkan tak dipercayai oleh polisi karena ia hanya anak kecil dan tidak ada saksi lain yang dibutuhkan untuk penyelidikan.
Bagaimana? Apakah aku harus muncul? Aku memiliki bukti yang kuat dan aku adalah saksi.
Hari ini adalah tepat siding akan dimulai.
Entah apa yang menguatkan hatiku. Aku ingin muncul di dalam persidangan sebagai saksi dan mengungkap kejahatan orang itu. Membantu anak kecil tak berdosa yang tak sepenuhnya dipercaya.
Aku melangkahkan kakiku dengan agak ragu dan perlahan membuka pintu ruang sidang.
Mataku menyapu kesetiap sudut ruangan. Padanganku bertemu dengan tatapan dingin penjahat itu. Wajahnya berubah seakan ingin mencekikku saat itu juga.
“Aku sudah disini dan aku tak bisa kembali.” Batinku coba meyakinkan.
Aku menarik napas dengan susah payah dan menghembuskan nya dengan keras. Terdengar bagaimana jantungku seakan akan mau jatuh keluar dari tempatnya.
“Aku menyaksikan kejadian itu semalam. Dan aku melihat laki-laki itu memukuli ayah anak ini dengan pipa besi hingga tewas….”
Semua orang yang berada diruang sidang saling berbisik dan berpandangan. Masih tampak ada keraguan diwajah mereka.
Aku merogoh kantong jas sekolahku dan meraih ponselku.
“Aku punya buktinya disini.”
Terdakwa itu berdiri dari tempatnya dan berteriak dengan keras. “AAAH! Apa yang kau lakukan. Aku akan membunuhmu ….”
Ia berjalan kearahku dan mencekikku dengan keras. Aku merasa kesakitan. Hingga akhirnya, laki-laki itu di jauhkan dariku.
“Aku akan membunuhmu… aku akan membunuhmuuuuu…..” suaranya yang penuh kebencian itu membahana di seluruh ruang sidang.

Aku menangis sejadi-jadinya mengingat apa yang beberapa tahun yang lalu pernah terjadi.
Tentang bagaimana laki-laki umur 20 an itu mati didepanku. Tidak, ia masih sekarat. Dengan beberapa luka tusuk di dadanya.
“Kenapa?” Aku menjerit.
“Bukankah sepuluh tahun yang lalu aku telah berjanji padamu…” anak laki-laki itu mencoba menarik napas dengan susah payah. Ya, laki-laki itu adalah bocah 5 tahun yang pernah aku tolong di saat persidangan.
“Tapi bagaimana bisa ini berakhir seperti ini?” aku menangis.
Laki-laki itu sudah keluar dari penjara dan ia menepati apa yang pernah dia ucapkan bahwa ia akan membunuhku. Aku dapat melihatnya walau buram karena air mataku. Laki-laki itu tewas dengan beberapa luka memar dikepala dan luka tusuk di tubuhnya. Ia berkelahi hebat dengan bocah 5 tahun yang sudah besar yang terbaring sekarat didepanku.
Lukaku di bagian punggung mulai terasa perih dan aku mulai kesakitan.
“Kalau aku tak membunuhnya, dia akan selalu mengintaimu…”
“Tapi, kenapa kau harus mengorbankan dirimu?”
“Tahukah? 10 tahun yang lalu kau mengorbankan dirimu untuk membelaku. Kau berani memberikan kesaksian walau aku tahu sebenarnya kau ketakutan bukan…”
Aku tak menjawab. Tubuhku gemetar.
“Sekarang, tidak akan ada lagi orang yang membuatmu ketakutan. Dia sudah mati….” Bocah itu mencoba tertawa walau dipaksakan.
Aku menggeleng dan menangis terisak.
“Janjiku, akhirnya tertepati. Aku, 10 tahun yang lalu berjanji, akan melindungimu….” Ia memejamkan matanya sesaat. “Kau harus tahu, mengapa aku berusaha sekeras ini.”
“Mengapa?”
“Karena aku harus melindungi mu. Cinta pertamaku.”





Setiap saat aku selalu meneteskan air mata setiap kali mengingat kejadian itu. Tentang bagaimana bocah itu jatuh cinta padaku dan tentang bagaimana ia melindungiku dari sesuatu yang sangat aku takuti. Sampai mati pun, itu tak akan bisa aku lupakan.

No comments:

Post a Comment

Leave comments here!