Mungkin, seperti itulah gambaran perasaan Kara. Setidaknya, seandainya ada yang bisa mengerti dan memahaminya.
Kara duduk di depan TV sambil memegang buku bacaan berjudul "Pride and Justice" karya Jane Austen tanpa berkonsentrasi. Ekor matanya tak kuasa menahan pandangannya untuk berhenti menyaksikan Mion - sahabat, yang juga merupakan lelaki yang sudah sejak lama ia sukai.
Di balik buku-buku yang tertata rapi di setiap raknya, terlihat bayangan Mion bersama Theresa - wanita yang belum resmi menjadi kekasihnya, sedang asik bersendau gurau dalam candaan yang membuat Theresa tidak henti-hentinya tertawa.
Mereka duduk di sebelah meja gambar di ruangan galeri seni bertemankan secangkir coklat hangat dalam satu cangkir berdua. Lampu ruangan yang bermandikan cahaya kuning kecoklat-coklatan dipadukan aroma cat yang tercium dengan samar-samar menambah kesan romantis. Jangankan Kara, siapa pun juga bisa menerka kalau suasana seperti itu dapat membuai dua insan larut dalam perasaan yang lebih jauh.
Theresa adalah mahasiswi jurusan teknik arsitektur seangkatan dengan Kara namun di kelas yang berbeda. Walaupun, Mion dua tingkat lebih di atas mereka. Kara sudah mengenal Mion sejak pertama kalinya ia hidupnya terpaut pada jurusan tersebut. Sementara Theresa baru saja pindah ke jurusan itu di tahun ketiga ketika proses perkuliahan sedang berjalan.
"Kara..." Mion berjalan menghampirinya hingga mengejutkan gadis berambut pendek sebahu itu dan membuatnya salah tingkah. "Kamu sedang apa?" Tanyanya lalu membandingkan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Kara.
Kara mengerjap beberapa kali, menarik napas dengan berat sebelum menjawab, "Kurasa kau lihat." Ujarnya sembari menyodorkan buku Jane Austen ke udara. Jantungnya berdegub dengan cepat dari sebelumnya. Memang selalu begitu ketika ia berada di sebelah Mion. Dan jujur saja, Kara biasanya sering gugup jika ia tak mampu untuk menguasai dirinya sendiri.
"Mion, Kara..." Theresa muncul menyela percakapan pendek mereka. "Aku balik duluan ya!"
"Eh, iya. Gak masalah kamu baliknya sendirian?" Mion bertanya dengan penuh perhatian.
Theresa mengangguk. "Iya. Aku bawa mobil. Lagian kasian kamu nanti harus bolak-balik lagi."
"Baiklah! Hati-hati, sayang." Ujar Mion mengantarkan kepergian Theresa hingga gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Lambaian tangan hangat darinya untuk wanita itu sebelum akhirnya Mion kembali masuk menghampiri Kara yang pura-pura sibuk membaca.
Mion tersenyum-senyum sendiri tanpa sebab dan mengundang rasa penasaran dalam hati Kara. Laki-laki itu pasti sedang memikirkan Theresa, tebaknya dalam hati seolah sudah terbiasa membaca sifat Mion sejak lama.
Mion tahu Kara menyukainya. Ia juga tahu, kalau gadis itu akan melakukan apa saja yang diminta oleh laki-laki itu dengan tulus. Namun sayang, perasaan Mion kepada Kara hanya sebatas sahabat dan saudara perempuan semata. Sampai saat ini belum ada rasa yang jelas membuatnya harus melihat gadis itu sebagai sosok lain yang memiliki arti lebih.
Perasaannya pada Theresa pun tidak segila perasaan Arjuna pada Sinta. Namun, Mion mengerti, bahwa perasaan cinta tidak selalu murni ada sejak dulu. Perasaan itu dapat dibentuk, perlahan seiring waktu.
"Menurutmu, apakah aku dan Theresa serasi?"
Kara tersentak. Pertanyaan yang sudah lama bisa ia tebak akan ditanyakan oleh laki-laki itu padanya. Mion terkadang suka terlihat menyebalkan. Menjadi playboy walau bukan begitu gambaran nyata dari dirinya.
Mungkin, lelaki itu kesepian. Sedang mencoba untuk menemukan sosok yang dapat memberikannya perhatian lebih. Hana saja, Kara ingin sekali menjadi seseorang yang mencintainya. Namun Mion selalu melarangnya untuk mengorbankan perasaannya. Menurut Mion, ia tidak akan membalas perasaan Kara dan ia tak ingin gadis itu terlarut dalam perihnya menahan cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Kara mendesah panjang, "Kau terlihat cocok dengan semua wanita yang mencintaimu seperti kau mencintai mereka."
Kening Mion berkerut. "Bagaimana bisa aku tahu kalau mereka juga mencintaiku dengan tulus? Atau bagaimana bisa mereka percaya bahwa perasaanku bukan sebuah kebohongan?"
Kara mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku hanya merasa, wanita punya insting yang kuat bila menyangkut perasaan. Walaupun memang, mereka lemah dalam logika."
Kara menatap wajah laki-laki itu dalam jarak yang tak begitu jauh. Aroma parfum laki-laki itu menyatu dengan aroma cat yang menyelimuti ruang galeri tersebut. Aroma khas milik Mion yang dihapal dengan baik oleh Kara. Aroma yang membuatnya rindu ketika laki-laki itu sehari saja tak muncul dalam jarak pandangnya.
"Dapatkah kau bantu aku supaya bisa mendapatkan hati Theresa?"
Pertanyaan itu membuat sesak dada Kara. Ternyata benar. Mion tak ingin mencoba untuk melihat padanya. Tak ingin memberinya kesempatan untuk mencoba menunjukkan bahwa perasaannya tak pernah bohong. Mion mengabaikan Kara. Seolah mengetahui perasaan gadis itu hanya sebagai angin lalu yang tak penting.
"Bantulah aku, Kara. Kau selalu bisa melakukan apa yang aku pinta, bukan?"
Kara menoleh ke arah lain. Ia menahan sakit hatinya. Benar, aku selalu melakukan apa saja untuk membuatmu senang. Dari dulu hingga sekarang. Semuanya kulakukan karena aku tahu kau begitu berarti. Tapi, tidakkah menyakitkan ketika aku harus melakukan sesuatu yang nantinya malah melukai perasaanku sendiri? Apakah kau peduli? Apakah aku bisa melakukannya? Ia mendesah dengan keras. Lalu, "Kau akan serius dengannya, bukan?" Tanyanya dalam suara yang bergetar.
"Aku harus mencoba. Jika memang tak jodoh, takdir akan memisahkan kami."
Dasar, Mion bodoh! Makinya dalam hati. Aku mungkin bisa membenci seribu gadis yang dekat dengannya. Tetapi, aku tidak bisa untuk membenci Mion. Rasa suka yang kupendam untuknya terlalu besar, mengalahkan niat kebencian yang ada di dalam diriku.
"Aku senang bila kau dapat membantu. Kau tahu kan, kalau hanya kau yang selalu bisa kuandalkan dalam segala situasi?" Mion lalu tersenyum. Senyuman yang disukai Kara sampai mati. Senyuman yang selalu melegakan perasaannya dari penat maupun luka.
Benar, walau tak dapat memiliki cintanya, aku tahu, kalau senyuman itu adalah untukku. Dia masih terus melakukannya di depanku. Walau aku bukan siapa-siapa untuknya.
Dalam pikiran Kara, biarlah ia menahan perih itu secara perlahan. Walaupun, ia mengerti dengan baik bahwa tidak selalu cinta itu menyenangkan. Justru terkadang, melukai dan dapat menyengsarakan pengidapnya. Biarlah ia berjalan dengan perasaan pincang, yang tak kunjung akan bertemu pada apa yang tergantung di dalam harapan angannya.
Berharap, satu hari ia siap untuk berhenti melakukan hal yang tidak berarti apa pun baginya dan menemukan belokan baru yang dapat membuka mata hatinya dan memulihkan lukanya. Bahwa ada lelaki lain yang lebih baik daripada Mion yang ia cintai.
Saat ini, yang perlu ia lakukan adalah bertahan. Bukankah hanya dengan melihat orang yang kau cintai bahagia, kau bisa tersenyum dan ikut merasa gembira? Sekalipun sakit rasanya harus menerima kenyataan bahwa bukan Karalah yang dapat membuat kebahagiaan itu nyata untuk Mion. Namun, kehilangan akan begitu perih ketika hati belum menyanggupi. Biarlah aku siap ketika waktu mengizinkan. Karna melupakan lebih sulit dan menyakitkan ketimbang membiarkan perasaanmu jatuh ke dalam perasaan yang disebut, cinta.
"Akan kulakukan asal kau bahagia dan menginginkannya." Kata Kara lalu tersenyum kecil. Terlihat manis walau ada sedikit perih yang tersirat dalam senyuman itu.
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!