Keterkaitan antara tradisi bermukim dengan lingkungan masyarakat berbudaya memberikan nuansa masa lampau yang terbentuk dalam sebuah wujud budaya dan telah diwariskan secara turun-temurun. Dengan perwujudan ini munculah serangkaian lambang dan tatanan perilaku yang dipilih dalam akulturasi tadi menjadi sebuah warisan dalam bentuk kontinuitas sosial-budaya masa lalu yang bertahan hingga saat ini. Dalam perjalanannya tradisi tersebut mengalami perubahan dalam proses akulturasi dalam bermukim dari satu individu ke individu yang lain dan juga dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal ini menjadikan tautan budaya bermukim tadi menjadi sebuah elemen bagian dari elemen permukiman yang dijadikan prinsip-prinsip dasar pembentukan suatu kawasan terbangun dengan lansekap budaya.
Dengan demikian,
 wajah kebudayaan menjadi bagian yang telah diciptakan manusia ke dalam 
sebuah tempat bagi aktifitas mereka dalam bermukim. Ruang-ruang budaya 
ini mengisi pada bagian-bagian spasial perdesaan dan mungkin juga 
perkotaan sebagai tempat dalam melakukan aktifitas kolektifnya. Lengkap 
dengan nilai-nilai budaya dan fisik arsitektural yang telah melekat pada
 bangunan mereka sebagai tempat bermukim dalam membangun keluarga dan 
lingkungan sosialnya. Secara totalitas nilai-nilai yang ada atau 
terkandung dalam lingkungan bermukim memberikan tempat khusus bagi 
masyarakat penghuninya. Di dalam aktifitas sehari-harinya, 
lambang-lambang status sosial tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk 
atau gaya arsitektural yang nampak pada gaya permukiman tradisional 
(Jawa) dengan strata sosialnya.
Elemen permukiman
Struktur spasial permukiman tradisional atau spatial system dibagi menjadi dua, yaitu hubungan antara global space dengan element space dan hubungan antara element space itu
 sendiri. Han (1991:2) mengemukakan bahwa dua hubungan mendasar tersebut
 diwujudkan dalam empat konsep struktur spasial yaitu placement dan sequence sebagai hubungan antara global space dengan element space. Hubungan antar element space diwujudkan dalam interaction dan hierarchy. Global space didasarkan
 atas persepsi atau kognisi penduduk desa, sedangkan tanah, jalan, 
unit-unit rumah, dan fasilitas lingkungan merupakan element space.
 Penempatan elemen-elemen lingkungan permukiman, dalam hal ini juga 
mencakup wilayah hutan, daerah hunian, tanah pertanian, dan tempat-tempat
 suci. Oswald & Baccini (2003) menetapkan beberapa elemen yang 
membentuk suatu kawasan perkotaan/pedesaan, yaitu sebagai berikut: 1. perairan; 2. hutan; 3. permukiman; 4. pertanian; 5. infrastruktur; dan 6. tanah kosong.
Tata guna lahan
Elemen-elemen pembentuk kawasan perkotaan/pedesaan
 tersebut akan memberikan gambaran proses perkembangan suatu wilayah dan
 pola penggunaan lahannya. Menurut Jayadinata (1999:27) pengertian dari 
tata guna tanah adalah sebagai berikut: - Tata Guna, yang berarti 
penataan atau pengaturan penggunaan; hal ini merupakan sumber daya 
manusia; dan - Tanah, berarti ruang (permukaan tanah serta lapisan 
batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), yang merupakan sumber 
daya alam serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain seperti: 
air, iklim, tubuh, tanah, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya. Jadi
 dalam tata guna tanah itu diperhitungkan faktor geografi budaya (faktor
 geografi sosial) dan faktor geografi alam serta relasi antara manusia 
dan alam.
Menurut Yaningsih (1981:10-11), masyarakat sasak umumnya hidup secara berkelompok mulai dari rumpun keluarga, secara lebih luas menjadi repoq,
 beberapa repoq menjadi dusun atau dasan, dan beberapa dasan menjadi 
desa membentuk perkampungan. Perkampungan asli Suku sasak didirikan di atas tanah  yang
 mungkin dahulu menjadi milik bersama masyarakat kampung. Rumah yang 
didirikan di atas tanah gubug tidak dibatasi oleh pagar halaman. Setiap 
rumah tidak memiliki hak atas tanah tempat bangunan rumahnya 
Di dalam dasan terdapat rumah yang berjajar-jajar yang disebut suteran, dan di antara
 suteran terdapat lorong atau penggorong. Kumpulan suteran disebut gubug
 atau dasan dan di dalam gubug ada kepala kampung atau keliang. Tiap 
suteran dikepalai oleh ketua suteran.
Berdasarkan tradisi masyarakat Sasak menurut Ahmad & Siradz (2004), konsep
 pemanfaatan tanah di kalangan masyarakat Suku Sasak dirumuskan 
berdasarkan fungsinya secara sosial, sehingga keberadaannya dihargai dan
 dijamin keberlangsungannya berdasarkan fungsinya, bukan kepemilikan. 
Implikasinya adalah, penggunaan tanah dalam konsep permukiman menjadi 
sangat terbuka untuk kepentingan umum. Pola pemanfaatan tanah pada 
masyarakat tradisional Sasak adalah sebagai rumah (Bale langgaq), pekarangan (leleah, lendang), kampung (gubuq gempeng), dan Desa (dise paer, gumi paer).
Letak/ruang elemen
Permukiman tradisional terdiri dari elemen-elemen yang disusun sedemikian rupa (berdasarkan sistem kepercayaan, budaya, dan kosmologi) untuk mendukung setiap kegiatan masyarakatnya. Elemen-elemen tersebut menentukan karakteristik dan nilai filosofi dari permukiman tersebut. Berikut
 ini merupakan beberapa contoh permukiman tradisional di Indonesia yang 
dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat masyarakatnya yang 
digunakan sebagai dasar untuk mengungkap karakteristik permukiman di Indonesia.
Permukiman tradisional Kaero Kecamatan Sanggalla, Toraja.
Permukiman
 tradisional Kaero dapat dikategorikan dalam tipe permukiman yang berada
 di dataran tinggi. Rumah-rumah hunian penduduk dalam permukiman 
sebagian besar adalah rumah panggung di bangun berpencar dari lereng 
hingga lembah bukit, namun jarak antara rumah yang satu dengan yang 
lainnya berdekatan. Tongkonan dan lumbung (alang)
 dibangun menghadap utara selatan, sedangkan rumah-rumah penduduk tidak 
semuanya menghadap ke utara. Area pemukiman Kaero tertutup oleh pohon 
bambu dan cemara yang tumbuh dengan subur dan lebat di sekitar 
permukiman.
Elemen-elemen dalam permukiman tradisional, seperti tongkonan, lumbung (alang), kandang, kebun (pa’la’), rante, sawah, dan liang menggambarkan kondisi dari pemukiman aslinya. Dalam permukiman tradisional Kaero terdapat dua tongkonan, yaitu Tongkonan Kaero dan Tongkonan Buntu Kaero. Lokasi Tongkonan Kaero berada di lereng bukit, sedangkan Tongkonan Buntu Kaero terletak di atas bukit sebelah selatan dan tidak jauh lokasinya dari lokasi Tongkonan Kaero. Tongkonan Buntu Kaero dan Tongkonan Kaero tidak dibangun dalam waktu yang bersamaan. Tongkonan yang mula-mula dibangun di Kaero adalah Tongkonan Buntu Tongko yang merupakan cikal bakal pusat permukiman di Kaero, baru kemudian dibangun Tongkonan Kaero. Di sekitar kedua tongkonan tersebut terdapat rumah-rumah kediaman oleh penduduk yang masih terikat secara kekeluargaan atau keturunan dari pemilik tongkonan tersebut. 
Permukiman Desa Adat Legian Bali
Pola Desa Adat Legian tergolong linear,
 desa ini membujur arah utara-selatan, dengan batas di sebelah utara 
adalah Desa Adat Seminyak, dan di sebelah selatan adalah Desa Adat Kuta.
 Di sebelah timur adalah Sungai Tukad Mati dan persawahan, sedangkan di 
sebelah barat adalah laut (Samudera Indonesia).
a. Parahyangan (Kahyangan Tiga Kahyangan Desa)
Kahyangan tiga (Pura
 Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem) masing-masing berada di lokasi 
tersendiri (tidak ada yang bergabung di suatu tempat). Dilihat dari tata
 nilai luan-teben (Utara-Selatan) terlihat bahwa Pura Desa 
terletak paling utara di antara ketiga pura tersebut. Pura Puseh di 
tengah, dan Pura Dalem serta setra di teben (Selatan). Jadi, baik Pura Puseh maupun Pura Desa tidak benar–benar terletak di luan wewidangan desa, melainkan di tengah-tengah. Sedangkan Pura Dalem terletak benar-benar di teben (di ujung selatan wewidangan desa). Selain dari pada kahyangan tiga tersebut, masih ada beberapa pura yang termasuk kahyangan desa, yaitu
 Pura Agung dan Pura Penataran. Pura Agung terletak juga di 
tengah-tengah desa, di sebelah Utara Pura Desa. Dengan demikian Pura 
Agung menempati daerah paling luan dibandingkan dengan pura-pura kahyangan desa lainnya. Pura Penataran terletak di antara Pura Puseh dan Pura Dalem.
b. Pawongan
Fasilitas
 tempat tinggal penduduk Desa Adat Legian terletak di sepanjang desa 
yang membujur arah Utara-Selatan. Adanya jalan utama yang terletak di 
tengah-tengah desa, merupakan poros yang kuat, menegaskan gambaran pola 
desa linear. Rumah-rumah penduduk merapat di pinggir jalan sepanjang 
desa. Rumah yang berada langsung di pinggir jalan semuanya manghadap ke 
jalan. Artinya memiliki akses langsung ke jalan dengan pemesuan berupa angkul-angkul atau kori. Rumah-rumah di bagian belakang, menghadap ke rurung (gang).
 Gang tersebut berada di sebelah Selatan dari rumah tinggal dimaksud. 
Jadi semua pemesuan di gang berada di sisi selatan dari masing-masing 
unit  permukiman. 
c. Palemahan
Jelas terlihat bahwa palemahan Desa
 Adat Legian umumnya berupa tegalan yang terletak di belakang tempat 
tinggal penduduk baik yang di sebelah barat jalan, maupun yang di 
sebelah timur, tegalan merupakan palemahan yang keberadaannya terlihat dengan jelas. Kuburan/setra terletak di daerah paling selatan (teben) desa. 
Pola permukiman dan bangunan Dusun Sade, Lombok Tengah
 Permukiman
 di Dusun Sade dibatasi oleh pagar hidup berupa pohon dan bambu, 
sehingga tampak jelas antara permukiman dengan lahan pertanian penduduk.
 Pencapaian ke permukiman tersebut dapat melalui jalan masuk sebelah 
utara (jeba’ bale’) dan jalan masuk sebelah barat (jeba’ bare). Pada awalnya, di permukiman ini terdapat tiga pintu masuk dan keluar, yaitu dua pintu (jeba’ bale’ di sisi utara dan jeba’ muri di
 sisi timur) digunakan untuk manusia, sedangkan satu pintu digunakan 
untuk hewan ternak. Adanya tiga pintu ini dikaitkan dengan kepercayaan 
masyarakatnya, dua pintu untuk manusia sebagai jalan masuk dan keluar 
roh–roh baik yang dipercaya membawa berkah dan keselamatan, sedangkan 
pintu untuk hewan ternak dipercaya sebagai jalan masuk roh–roh jahat 
yang membawa kesengsaraan dan penyakit. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan penambahan jumlah rumah maka pada tahun 1980 jeba’ muri terpaksa ditutup, sedangkan jeba’ bale’dan jeba’ bare masih tetap digunakan hingga kini. Dengan adanya kegiatan pariwisata di dusun Sade mengakibatkan terjadinya pergeseran  fungsi jeba’ bare dari
 jalan masuk ternak menjadi jalan masuk bagi manusia, khususnya 
wisatawan yang berkunjung ke dusun tersebut. Perubahan fungsi ini 
berdampak terhadap kualitas jalan, yaitu dari jalan tanah menjadi jalan 
dengan perkerasan batu. Permukiman di Dusun Sade terdapat 
bangunan–bangunan tradisional yang dapat dibedakan menjadi tiga macam 
yaitu Bale Kodong untuk pasangan yang baru menikah, Bae Tani untuk keluarga yang sudah agak mapan, dan Bale Bontor untuk
 keluarga yang sudah mapan. Letak rumah–rumah di Dusun Sade berjajar 
membentuk pola linier dengan sebagian besar berorientasi ke arah jalan 
setapak, yaitu arah timur dan barat yang
 merupakan arah matahari dan dipercaya sebagai pemberi berkah. 
Rumah–rumah di Dusun Sade berpantangan untuk menghadap utara dan 
selatan. Pola linier tersebut juga berkaitan dengan adanya pengelompokan
 keluarga yang disebabkan oleh adat menetap masyarakat Sasak (Krisna 
2005:128-131). 
Pola permukiman masyarakat Pedukuhan Cora Cotto’, Bondowoso
Pola
 permukiman masyarakat di Pedukuhan Cora Cotto’ lebih ditekankan pada 
sosial budaya dan perilaku masyarakatnya. Hampir dari seluruh masyarakat
 Pedukuhan Cora Cotto’ adalah berkerabat, sehingga rasa kekeluargaan dan
 gotong royong antar masyarakatnya masih terasa kental. Kebudayaan yang 
dipegang teguh dari jaman nenek moyang menuntun masyarakat pada 
kehidupan religi yang kuat. Metode analisis yang digunakan adalah 
analisis Behavior Mapping yang memperoleh gambaran pola 
permukiman secara mikro, meso dan makro yang terbentuk akibat adanya 
aktivitas sosial, budaya dan kebiasaan masyarakat. Ruang mikro merupakan
 gambaran segala jenis kegiatan yang menggunakan ruang dalam rumah, 
ruang meso merupakan gambaran kegiatan lanjutan dari kegiatan mikro yang
 biasanya dilakukan  di halaman rumah, dan ruang 
makro merupakan lanjutan dari kegiatan meso yang mempunyai keterkaitan 
anatar kegiatan yang ada di pekarangan dengan tempat-tempat umum. Adanya
 faktor budaya, sosial dan kebiasaan masyarakat tersebut ternyata tidak 
berpengaruh terhadap bentuk pola pedukuhan. Pola yang ada yaitu menyebar
 secara acak dan cenderung tidak berkaitan dengan adanya ketiga unsur 
tersebut. Akan tetapi dibalik dari bentuk yang tidak berpola, ada 
beberapa bagian yang dapat dilihat sebagai pola permukiman masyarakat 
yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh unsur budaya, sosial dan 
kebiasaan (Eliana 2007:217).  
Pola permukiman Taneyan Lanjhang di Desa Lombang Kabupaten Sumenep
Perumahan
 tradisional etnis Madura dalam suatu desa lebih merupakan kumpulan dari
 kelompok-kelompok kecil rumah yang terpencar-pencar. Pola lingkungan 
yang terbentuk menyerupai hamlet, yaitu kelompok kecil 
rumah-rumah petani yang terletak di ladang-ladang pertanian luas yang 
dibatasi oleh pepohonan dan rumpun-rumpun bambu serta dihubungkan oleh 
jalan kecil yang berliku-liku (Tjahjono et al. 1996), 
dan di sekitar pekarangan rumah juga terdapat pohon-pohon, semak-semak, 
belukar, dan tanaman yang membuat perumahan tersebut sebagian besar 
tertutup pandangan mata.
Pola perumahan pada permukiman di Desa Lombang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pola perumahan Taneyan Lanjhang dan pola perumahan selain Taneyan Lanjhang/linier mengikuti jalan. Karakteristik fisik perumahan dengan pola Taneyan Lanjhang yang terdapat di Desa Lombang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Tipologi pola perumahan Taneyan Lanjhang di Desa Lombang berdasarkan hasil temuan, antara lain: a. Taneyan sebagai poros yang menghadap ke arah barat; b. Langgar (bagian paling barat taneyan); c. Rumah kerabat yang berada dalam suatu taneyan menghadap utara-selatan; d. Rumah tongghu
 (menghadap ke arah selatan); e. Arah penambahan bangunan (ke timur); f.
 Dapur (bangunan tersendiri); dan g. Bangunan tambahan lainnya (kamar 
mandi, kandang).
Hasil temuan tipologi pola susunan taneyan
 di Desa Lombang dapat diklasifikasikan menjadi 5 (lima) pola perumahan,
 antara lain Tipologi I (pola perumahan Madura asli), merupakan pola 
perumahan taneyan lanjhang dengan kelengkapan rumpun taneyan; Tipologi II, merupakan pola perumahan Taneyan Lanjhang yang letak rumah tongghunya
 menyimpang (tidak menghadap ke selatan) atau arah penambahan bangunan 
menyimpang (tidak ke arah timur), atau tidak memiliki bangunan dapur 
tersendiri atau ketiga-tiganya; Tipologi III, merupakan pola perumahan Taneyan Lanjhang yang tidak memiliki bangunan langgar dan dapur dalam kelengkapan rumpun taneyan-nya; Tipologi IV, merupakan pola perumahan Taneyan Lanjhang seperti kriteria tipologi pada tipologi II, dan dalam kelengkapan rumpun taneyan-nya arah hadap rumah tongghu
 yang menyimpang (tidak menghadap ke selatan dan atau arah penambahan 
bangunan tidak ke arah timur); Tipologi V, merupakan pola perumahan Taneyan Lanjhang yang rumah tongghu-nya tidak menghadap ke selatan dan atau arah penambahan bangunannya tidak ke arah timur.
Permukiman perdesaan di Desa Trowulan, Kabupaten Mojokerto
Desa
 Trowulan merupakan bekas pusat Kota Majapahit dihuni oleh penduduk 
dengan agama yang beragam. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan 
mampu menggambarkan lingkungan alami, tingkatan teknologi yang digunakan
 untuk membangun dan interaksi sosial sebagai alat kontrol budaya 
masyarakat yang ada di desa tersebut. Desa Trowulan termasuk pada 
tipologi desa persawahan. Dengan pola permukiman yang linier terdiri 
atas pola permukiman linier dan memusat. Pada tiap dusunnya terdapat 
pola hunian sebagai berikut: - Mengumpul dengan orientasi rumah adalah 
halaman yang digunakan secara bersama (komunal); - Linier dengan 
orientasi rumah adalah jalan; dan - Linier memusat dengan orientasi 
rumah adalah jalan dan secara geografis cenderung terpisah dengan dusun 
yang lain.
Tipologi
 atap rumah terdiri atas pelana dan limasan, dan sebagian besar 
pemiliknya mempunyai pekerjaan petani. Secara umum, rumah-rumah yang ada
 di Desa Trowulan mempunyai fungsi antara lain sebagai hunian dan 
berfungsi ganda, yaitu sebagai hunian dan tempat usaha. Fungsi rumah 
tersebut berubah sesuai dengan kebutuhan pemiliknya. Pada umumnya rumah 
yang berfungsi ganda, yaitu sebagi hunian serta tempat usaha, tempat 
usahanya dibangun di depan rumah dengan skala pelayanannya adalah skala 
lokal desa. Lahan yang dipakai biasanya adalah teras atau halaman di 
depan rumah (Permatasari 2008:77-93).
Sistem
 hubungan kekerabatan masyarakat Desa Trowulan sama seperti masyarakat 
jawa pada umumya, yaitu bilateral. Sistem kekerabatan bilateral adalah 
suatu prinsip yang menentukan hubungan kekerabatan seseorang berlaku 
rangkap, yaitu melalui garis keturunan pria dan garis keturunan wanita. 
Dengan demikian hubungan anak dengan kerabat pihak ayah dan ibu 
mempunyai derajat yang sama (Koentjaraningrat 1975:86). 
Struktur ruang permukiman Desa Puyung
Permukiman
 di Desa Puyung sebagian besar terbentuk dari rumpun keluarga dan pada 
beberapa bagian berupa rumah tunggal. Pola yang terbentuk adalah 
merupakan pengelompokan yang membentuk cluster baik sebagai 
rumpun keluarga maupun sebagai dusun. Kepercayaan supra natural masih 
nampak dalam kehidupan masyarakat Desa Puyung. Dalam menentukan 
orientasi bangunan khususnya arah dan hadap rumah, masih menghendaki 
menghadap Utara atau ke Gunung Rinjani, atau juga berpola sejajar jalan.
 Antara satu rumah dengan rumah lain dalam satu rumpun keluarga 
diperhitungkan agar bisa menghadap lorong dalam rumpun keluarga. Peran 
senioritas dalam keluarga juga nampak, yakni orang tua ditempatkan pada 
bagian atas atau utara, sedangkan anak di bawah atau sampingnya.
Sesuai
 dengan adat Sasak umumnya, masyarakat Puyung juga melaksanakan berbagai
 ritual, terutama terkait dengan acara daur hidup, acara keagamaan, 
ataupun waktu membangun rumah, membuka tanah untuk kegiatan baru. Di antara
 ritual ini yang mengalami peristiwa rutin dan tetap dipentingkan adalah
 terkait daur hidup, terdiri atas ritual: kelahiran, khitanan, 
perkawinan dan kematian, serta ritual terkait keagamaan, khususnya 
Maulid Nabi Muhammad dan Lebaran Idul Fitri.
Permukiman Suku Batak Mandailing
Pembagian wilayah kampung di Mandailing merupakan sebuah pola grid yang
 ditandai oleh adanya jalan-jalan setapak yang membelah kawasan 
permukiman. Orientasi bangunan semuanya menghadap ke jalan-jalan yang 
ada. Pada awal terbentuknya perkampungan Mandailing, terdapat beberapa 
lapis bangunan rumah. Lapisan pertama merupakan bangunan hunian kerabat raja, yaitu sebagai berikut: a. Kahanggi adalah kelompok keluarga semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang sama satu dengan lainnya di dalam sebuah huta (kampung) dan merupakan bona bulu, yaitu pendiri kampung. Kahanggi terdiri atas 3 bagian besar yang biasanya disebut namora-mora huta, yaitu suhut, hombar suhut, dan kahanggi pareban; b. Anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil istri dari kelompok suhut. Anak boru juga berarti penerima anak perempuan; c. Mora adalah kelompok keluarga pemberi anak perempuan; dan d. Lapisan berikutnya merupakan bangunan-bangunan hunian rakyat biasa. Hal ini disesuaikan dengan status sosial yang diatur oleh adat atau yang dikenal dengan sebutan Dalihan na Tolu. Estimasi pola tatanan kampung di Mandailing dari hasil penelitian Fithri dalam Nuraini (2004:16).
Peletakan tiap elemen pada huta, didasarkan pada tiga aspek yang juga menjadi hierarki, yaitu (a) kosmologi Banua,
 (b) sistem kepercayaan yang berkaitan dengan sungai dan matahari, dan 
(c) kondisi alam yang meliputi ketinggian atau kontur tanah dan keadaan 
sekitarnya, seperti letak dan orientasi rumah-rumah. Objek fisik 
ditentukan letaknya berdasarkan zona yang sesuai, lalu orientasi 
ditentukan berdasarkan letak sungai dan kedudukan matahari. Jika kondisi
 alam tidak memungkinkan, orientasi dapat berubah, dengan syarat tidak 
membelakangi matahari. Matahari secara keseluruhan dianggap sebagai 
sumber kehidupan, sehingga jika rumah membelakanginya, maka penghuni 
rumah akan mendapatkan kesulitan atau sial. Dalam hal ini, penerapan 
konsep Banua dan kepercayaan terhadap sungai dalam menentukan arah orientasi di dalam huta sangat konsisten, sedangkan sistem kepercayaan terhadap matahari sangat tergantung pada kondisi alam.
Permukiman di Pulau Sumba
Keterbatasan
 pola susunan terhadap keamanan dan persatuan, bahan dan teknologi, 
mobilitas, serta struktur sosial yang kaku mempengaruhi luasan kampung 
adat. Tradisi dan budaya sangat mempengaruhi suasana kampung yang 
diekspresikan secara religius simbolik. Simbol tersebut digunakan untuk 
mengkomunikasikan makna dan susunan yang mencerminkan hubungan antar 
penghuni rumah adat, serta hubungan masyarakat dengan leluhurnya. 
Rumah
 adat Sumba merupakan rumah di dalam kampung adat yang menjadi tempat 
berkumpulnya satu keturunan keluarga. Bentuk rumah yang unik, didominasi
 oleh menara atap. Bentuk atap tersebut merupakan lambang perahu yang 
membawa nenek moyang orang Sumba tiba di Pulau Sumba (Kusumawati et al. 2007:2-3). Permukiman atau kampung adat dalam bahasa Sumba memiliki beberapa sebutan seperti parona bagi masyarakat Sumba Barat atau paraingu bagi masyarakat Sumba Timur. Pola kampung adat di Sumba berbentuk cluster atau tertutup dengan hanya mempunyai satu gerbang yang menjadi akses keluar-masuk ke dalam kampung adat. Dengan
 hanya memiliki satu akses ini dipercaya akan menjadi suatu faktor 
keamanan dan pertahanan yang handal. Faktor ini dianggap penting karena 
pada masa lalu, bahkan sampai saat inipun konflik antar suku atau kabisu
 sangat sering terjadi. Pola ini melambangkan bahwa kampung adat 
merupakan pusat bagi kegiatan dan kehidupan masyarakat Sumba, sejak awal
 (lahir) hingga akhir (meninggal). Oleh sebab itu setiap pribadi 
masyarakat Sumba meskipun telah merantau keluar dari pulau Sumba, selalu
 berharap bila kelak tutup usia akan dimakamkan di kampung adatnya.
Masyarakat Sumba dalam budaya bermukimnya mengenal atau memiliki (tiga) jenis rumah, yaitu sebagai berikut: 1. Rumah Adat (Uma) yang berfungsi sebagai pusat dan awal kehidupan, sehingga disinilah semua kegiatan ritual kepercayaannya berlangsung; 2. Rumah Dusun sebagai tempat tinggal sehar-hari; dan 3.
 Rumah Kebun sebagai tempat tinggal saat berkebun atau bercocok-tanam. 
Kampung adat pada masyarakat Sumba pada umumnya berbentuk persegi atau 
lonjong (ellips atau oval) yang dikelilingi oleh suatu tembok batu yang 
cukup tebal dan tinggi, yang berfungsi sebagai batas sekaligus benteng 
pertahanan bagi kabisu dari serangan kabisu
 yang lain. Bentuk dasar ini memang menjadi salah satu ciri dari 
masyarakat prasejarah. Namun demikian, bentuk ini masih sangat 
tergantung pada konteks alami lokasi (seperti kontur lahan ataupun 
faktor alami lainnya) maupun terkait jumlah kabisu yang menghuni dan jumlah rumahnya.
Pola
 kampung adat pada umumnya berorientasi ke arah utara – selatan, dengan 
arah selatan sebagai arah utama. Oleh sebab itu rumah adat (uma) kepala kampung (kepala kabisu) terletak di selatan menghadap ke utara, atau yang disebut sebagai uma katoda, rumah wakil kampung adat (anak laki tertua dari kepala kabisu) atau disebut uma kere
 terletak di sebelah utara (menghadap selatan), sedangkan deretan rumah 
adat sebelah barat adalah bagi anak nomor urut genap dan deretan rumah 
adat sebelah timur adalah bagi anak dengan nomor ganjil. Seluruh 
bangunan rumah adat tersebut mengelilingi dan menghadap atau 
berorientasi pada natar yang menjadi pusatnya. Apabila dalam satu permukiman kampung adat terdapat lebih dari satu kabisu, maka itu akan tercermin pada jumlah natarnya, karena setiap kabisu pasti mempunyai sebuah natar. 
Arah
 selatan merupakan arah datangnya angin laut dan musim yang mendatangkan
 kesuburan dan hasil laut yang melimpah bagi masyarakat. Untuk 
menghormati anugerah alam, maka arah selatan memperoleh penghargaan 
tinggi dan dijadikan sumbu utama dalam mewujudkan permukiman kampung 
adat masyarakat Sumba. Pola orientasi kampung adat utara – selatan 
tersebut ternyata tidak berlaku di semua lokasi kampung adat karena 
beberapa diantaranya telah berganti orientasi ke arah timur – barat, 
seperti pada kampung adat Kabonduk maupun Pasunga. Hal tersebut terjadi 
karena pengaruh dan tekanan dari penjajah Belanda ketika menguasai Pulau
 Sumba. Di tengah kumpulan bangunan rumah adat di dalam permukiman 
terdapat natar yang menjadi pusat orientasi. Natar menjadi penting karena di dalam natar inilah semua ritual kepercayaan Marapu dilakukan termasuk menjadi tempat bagi batu kubur dan muricana (Kusumawati et al. 2007:10-12).
Permukiman Suku Dawan di Kampung Maslete, Kecamatan Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara
Pola
 pemukiman Suku Dawan di Kampung Maslete mengelompok dengan rumah-rumah 
serta beberapa kandang ternak yang diberi pagar keliling. Ladang-ladang 
penduduk tersebar di sekeliling perkampungan. Di perkampungan Bikomi 
Adat Maselete terdapat sebuah kompleks rumah yang dijadikan tempat 
sebuah kegiatan, yakni Sonaf (istana). Sonaf, yaitu rumah tempat tinggal raja. Setiap orang Dawan mempunyai kampung asal usul yang disebut dengankuan. Kampung atau kuan terdiri atas beberapa rumah adat dan rumah tinggal milik klan serta sebuah haumonef tiang agung sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian halnya di Bikomi Adat Maselete sebagai kampung tradisional dan sebagai pusat pemerintahan .
Keefetoran Bikomi di Maslete mempunyai dua lingkungan Sonaf yang masih mempunyai hubungan erat, satu lingkungan sonaf yang dianggap Sonaf Tua atau Sonaf Tusala
 yang lingkungannya menghadap ke arah timur dan lingkungan. Kerajaan 
dimasa lalu mempunyai pola perkampungan yang terdiri atas lingkungan Sonaf dan lingkungan rumah-rumah tradisional yang berbentuk bulat. Sonaf Nis Noni yang dianggap Sonaf muda menghadap ke arah barat. Sonaf Tusala berfungsi sebagai urusan di bidang pemerintahan dan Sonaf Nis Noni berurusan di bidang upacara ritual. Masing-masing Sonaf mempunyai komposisi. Terdapat dua buah rumah adat atau juga disebut sebagai Sonaf atau istana yang bersifat adat atau juga disebut sebagai Sonaf atau istana yang bersifat perempuan, pendopo atau rumah lopo untuk penerimaan tamu dan rumah-rumah penduduk keluarga raja di sekitarnya (Maria et al. 2006:32-36).
Sumber Pustaka
Ahmad, J. D. & Siradz, U. 2004. Nilai-nilai Dasar dalam Kehidupan Masyarakat Lombok. Seminar dan Lokakarya Perumusan Rekomendasi dan Referensi Lombok Style. Mataram: GTZ Urban Quality dan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah.
Eliana,
 I. 2007. Studi Pola Permukiman Masyarakat di Daerah Terpencil Studi 
Kasus: Pedukuhan Cora Cotto’ Desa Sumbercanting Kab. Bondowoso. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Institut Teknologi Nasional.
Jayadinata, J. T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.
Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press
Koentjaraningrat. 1984. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentaltas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Krisna, R. 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.
Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I.R. 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Plannit. 3 (2):124-133.
Maria,
 S., Limbeng, J. & Sunarto . 2006. Kepercayaan Komunitas Adat Suku 
Dawan Pada Siklus Ritus Tani Lahan Kering Di Kampung Maslete, Kecamatan 
Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. 
Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, Departemen Kebudayaan 
dan Pariwisata.
Nuraini, C. 2004. Permukiman Suku Batak Mandailing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Oswald, F. & Baccini, P. 2003. Netzstadt Einführung in das Stadtentwerfen. Berlin: Birkhäuser-Verlag für architektur.
Permatasari, Ike. 2008. Permukiman Perdesaan Di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Brawijaya.
Rapoport, A. 1993. Development, Culture, Change and Supportive Design. USA: University of Wisconsin-Milwaukee.
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!