Sudah menjadi satu kenyataan, bahwa rumah tinggal sangat berkaitan dengan penghuninya. Baik sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan, juga sebagai tempat untuk membakukan diri akan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Gejala tumbuh dan berkembangnya rumah tinggal memang sangat menarik. Satu sisi kaum menengah berusaha untuk mendapatkan rumah kecil dan sederhana untuk dapat dihuni beberapa keluarga, tetapi di sisi lain kaum menengah ke atas berlomba-lomba dengan gaya rumah barunya. Gaya dari rumah tinggalnya berpenampilan campur-aduk, ada bentuk Spanyolan, country house, tradisional modernistis, dan perpaduan dari bentuk-bentuk tersebut. Kecenderungan gaya arsitektur semacam itu memang wajar karena berkembang pada masa “arsitektur post modern”. Bahkan menurut Ir. Ciputra, arsitektur post modern tidak mengenal garis tertentu, ini merupakan ciri dari masyarakat dalam berkreativitas, harus kita hargai pula untuk membangun sesuatu yang baru. Pendapat itu pun akan menimbulkan suatu pertanyaan, apakah sesuatu yang baru itu sudah sesuai dengan kondisi alam, manusia serta budaya kita? Atau haruskah kita memaksakan sesuatu untuk mengungkapkan suatu karya arsitektur, sedangkan alam dan perilaku sangat bertentangan.
Gaya arsitektur rumah tinggal yang muncul pada akhir-akhir ini nampaknya hanya menonjolkan status sosial penghuni untuk diungkapkan dalam bentuk arsitektur rumah tinggalnya, agar segala martabat atau harga dirinya tampak oleh lingkungan sekitarnya. Pada kenyataannya tidak hanya bentuk luarnya saja yang mengalami perubahan gaya, tetapi bentuk ruang dalam pun juga terjadi perubahan. Hal ini disebabkan pola dan gaya hidup kosmopolis yang tentu saja mengandung nilai-nilai yang sama sekali baru dan asing. Kalau sudah demikian siapa yang akan disalahkan. Kesalahan tidak hanya datang dari pemilik rumah. Para arsitek juga pantas untuk disalahkan akan peran dan tanggungjawabnya.
Peran Tanggungjawab Arsitek
Melihat gaya arsitektur rumah tinggal yang beraneka itu, para arsitek harus turut pula bertanggungjawab atas semua karyanya yang memunculkan gaya dan bentuk arsitektur rumah tinggal tadi. Nampaknya peran arsitek di dalam masalah ini masih kurang, terlihat dengan adanya gaya arsitektur yang semakin tidak jelas. Pada bagian lain arsitek begitu saja mengikuti keinginan pemilik, tanpa memperhatikan kaidah maupun konsep di dalam arsitektur. Seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Parmono Atmadi dalam Pemikiran Awal Perumusan Arsitektur Indonesia melalui Pendekatan Semiotik (1982), bahwa konsep arsitektur yang disusun atas dasar dialog antara kebudayaan, pola perilaku sikap dan tata nilai di satu pihak dengan konsep pewadahannya di lain pihak. Pada kenyataan, rumah tinggal yang berada di kota-kota sudah berubah bentuknya sama sekali, dialog antar perilaku dengan kebudayaan tidak kelihatan. Hanya sosok bentuk fisiknya (house) saja yang kelihatan gemerlap, tetapi tidak tampak nilai-nilai khusus yang terkandung di dalamnya (home). Untuk masa mendatang perlu adanya usaha-usaha baru yang harus dilakukan oleh para arsitek baik dalam pendekatan maupun pelaksanaannya. Pendekatan dan usaha baru harus segera dimulai, untuk itu seorang arsitek perlu yakin akan pendekatan perancangan yang dipilih, sehingga hasil perancangannya betul-betul mencapai tujuan.
Bukan sebagai arsitek pengusaha seperti dikatakan Eugene Ruskin, kelompok arsitek ini memang dihargai oleh masyarakat tetapi dia tidak termasuk kelompok genius atau pun kelompok arsitek yang menonjol, tetapi mereka merupakan juru gambar yang mahir. Mereka sangat ambisius untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya (Architecture and People, 1974:102-104). Dengan pendapat tersebut di atas perlu dijelaskan kepada masyarakat akan peran arsitek yang lebih manusiawi dan tentu saja harus dapat memberikan jawaban akan arti perancangan sebuah sebuah rumah tinggal. Rumah tinggal yang mempunyai kualitas kehidupan dan kualitas fisik bangunannya, bukan hanya rumah tinggal yang mementingkan gaya arsitektur yang campur-aduk tadi. Pertimbangan dalam mebuat rumah tinggal masal (real estate) untuk golongan menengah atas perlu adanya studi terlebih dahulu, dengan adanya studi tadi akan terlihat bagaimana hal-hal yang spesifik akan kebutuhan tempat untuk tinggal keluarga di Indonesia. Pada kenyataannya, yang terjadi sekarang pada rumah masal (real estate) penghuni masuk setelah rumah selesai, sehingga penghuni yang harus menyesuaikan dengan rumah barunya.
Arsitek sewajarnya harus dapat memahami pola hidup kebutuhan masyarakat akan wadah fisik tempat tinggal yang sesuai dengan alam lingkungannya, bukan wadah fisik tempat tinggal yang dibangun berdasar konsep dan patokan dari negara barat. Kenyataannya yang terjadi asimilasi perpaduan yang mengarah ke bentuk “Pop Architecture”, yaitu gejala arsitektur yang cenderung mengutamakan kenikmatan duniawi memenuhi selera emosi kurang mementingkan nilai-nilai spiritual maupun kultural, kadang-kadang bersifat, promotif, provokatif, dan eksplosof. Meskipun demikian gejala dalam mencari inovasi pada gaya-gaya arsitektur rumah tinggal juga telah dimulai oleh beberapa arsitek. Mereka mencoba mengisi masa transisi ini melalui perkembangan arsitektur tradisional, arsitektur jaman kemerdekaan, arsitektur Indisch, dan yang akhir-akhir ini ini dipermasalahkan adalah arsitektur tropis nusantara. Tentunya harapan di atas akan muncul suatu gaya arsitektur rumah tinggal yang benar-benar sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia dan dapat dipertanggungjawabkan pada setiap aspek.
Indisch dan Tropis
Rasanya sudah waktunya untuk memberikan suatu alternatif pemecahan berbentuk arsitektur rumah tinggal yang sesuai dengan budaya dan alam lingkungannya, karena arsitektur merupakan salah satu hasil karya budaya. Kedua arsitektur tersebut di atas merupakan warisan arsitektur tradisional yang kita punyai, yaitu dengan ciri khas daerah tropis negeri kita menggunakan bentuk atap miring, overstek panjang serta menggunakan bahan kayu dan genteng. Kalau kita kaji lagi lebih dalam bentuk-bentuk arsitektur itu sudah terdapat pada masa kolonial (masa penjajahan Belanda) yang unsur-unsur ungkapan dan mungkin tata ruang dalamnya dipadukan dengan arsitektur setempat (tradisonal/lokal). Kemudian pada abad ini muncul lagi sebagai salah satu citra arsitektur rumah tinggal di Indonesia yang memasukkan unsur asing ke dalam bangunannya, menggabungkan elemen arsitektur masa lalu dan masa kini, dan berciri tradisional. Benih-benih positif ini perlu dikembangkan lebihjauh lagi karena mau tidak mau konsep dan proses perancangan akan mengalir terus bersama waktu.
Gambaran dan pengertian mengenai arsitektur tropis perlu dipahami lebih luas lagi, citra citra ketropisan tidak bis ditafsirkan secara sempit hanya masalah iklim saja. Hal yang sama juga dikatakan oleh Eko Budihardjo, bahwa proses perancangan selayaknya diadaptasikan terhadap kultur, pola kehidupan dan struktur sosial, iklim dan topografi, dengan mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan secara integratif (Kompas, 25 Juli 1987). Kenyataannya hal semacam itu belum tampak dalam dunia arsitektur.
Arsitek harus mengetahui desain rumah tinggal yang baik, berapa anak dalam keluarga yang akan mendiami rumah tinggal tersebut, apa kegemarannya, dan sebagainya. Jika kita mau mengikuti aturan atau pola dan membutuhkan satu analisis yang tntu saja mendalam, tentunya akan didapatkan hasil sebuah desain rumah tinggal yang benar. Sehausnya arsitektur dilihat sebagai bahasa, pendpat ini dilontarkan oleh Geoffrey H. Broadbent dalam satu seminar “Design in Architecture” yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Parahyangan Bandung, karya arsitektur sebagai rangkaian kalimat, sedang elemen-elemennya seperti garis, bidang, warna dan sebagainya, sebagai kata. Cara merangkainya beliau sebut sebagai gaya yang di tata seperti komposisi bahasa. Jadi, “ekspresi arsitektur harus bisa dirasakan, sehingga bisa melihat suatu bangunan, orang akan menemukan sesuatu yang lain, suatu ciri khas”.
Menilik perkembangan konsep arsitektur tropis di Indonesia dapat dijadikan tolok ukur perwujudannya baik yang akan berciri arsitektur indisch maupun yang akan berciri arsitektur tropis. Bagaimana pun pula keduanya juga berakar dari bentuk arsitektur tradisional, yaitu panggang pe dan kampung yang merupakan dasar bentuk arsitektur tradisional rumah tinggal. Pada kahirnya bentuk kampung pun berkembang menjadi pacuk gowang, srotong, dara gepak, klabang nyander, lambang teplok, semar tinandhu, gajah njerum, cere gancet, dan semar pinodhong. Bentuk inilah yang akhirnya berkembang saat ini, dan dapat dijadikan dasar untuk rumah tinggal kita yang menggunakan bahan-bahan sederhana. Sesuai dengan lingkungan alamnya (tropis), kemiringan atapnya tajam dan tentu saja punya kepribadian. Belajar dari sejarah masa lalu memang perlu, seperti dikemukakan oleh Amos Rapoport, “Lessons from traditional settlement”. Dari masa lalulah akan didapatkan segalanya, di antaranya kultur yang spesifik, komunikasi yang efektif dengan penghuni, alam kebudayaan tradisional, cara hidup yang serupa, dan tentu saja kualitas lingkungan. (Environmental Quality, Metropolitan Areas and Traditional Settlement, 1983) Semua proses pendekatan di dalam arsitektur sebaiknya melalui tahapan belajar dari sejarah arsitektur masa lalu (arsitektur tradisional) untuk hunian (rumah tinggal), dan hal itu diharapkan dapat memberikan satu ciri khas bagi arsitektur tropis maupun arsitektur indisch.
Sebagai wilayah tropis yang memiliki warisan budaya dan keragaman arsitektur tradisionalnya ini, maka para arsitek harus dapat mengendalikan diri sepenuhnya dalam mengemban tugas kemanusian yang luhur ini. Dengan demikian, wajah kota yang penuh pesona bentuk dan gaya arsitektur post modern dapat terisi oleh adanya keakraban masyarakat, budaya dan tentu saja bangunannya. Pengkajian masalah arsitektur tropis perlu dilakukan sedini mungkin, perlu partisipasi masyarakat dan pendidikan arsitektur sebagai penghasil arsitek-arsitek untuk memahami lebih jauh lagi tentang kondisi alam dan asyarakat Indonesia ini.
Tulisan ini telah dimuat dalam Surat Kabar Suara Indonesia 8 Juni 1988
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!