Memerangi waktu, semakin banyak terlahir anak-anak muda baru dengan berbagai pemikiran baru dan lebih segar. Dunia kreativitas sebenarnya, merupakan ajang persaingan yang cukup berat untuk menunjukkan kebolehan melalui karya cipta yang belum tentu, semua orang bisa hasilkan.
Malam itu, beruntung dan sangat bersyukur karena akhirnya saya diberikan kesempatan untuk berdiri berdampingan dengan Papa Al - sang sutradara, yang bila disandingkan dengan saya, apalah arti seorang penulis muda yang masih merupakan anak ingusan ini. Namun, beliau yang kenal dengan sosok Hanung Bramantyo itu, menarik minat saya tentang banyak sekali orang hebat di luar sana.
Pernah sekali, saya terpikir untuk belajar mengikuti jejak beliau sebagai seorang sutradara. Namun, apa daya. Belajar otodidak tidak selalu terbilang menjadi hal yang mudah. Sama halnya dengan belajar menulis. Bisa dibilang, mungkin saya belum bisa menceritakan banyak hal di samping kegagalan berulang kali yang saya temui ketika harus mengoper naskah ke sana kemari untuk menemukan rumah yang ingin dan bisa menjadi rumah sakit bersalin sebagai tempat lahirnya anak-anak saya itu.
Mengamati pembelajaran instan melalui media online, pun tidak selalu mudah dimengerti dan benar. Hal-hal yang kita sukai tidak selalu semua orang ikut sukai atau tahu banyak. Papa AL yang menyukai film dan embel-embelnya, tentu tidak mudah dan merasa kesulitan bila harus dihadapkan dengan menulis novel. Saya pun demikian. Mempelajari tata cara menulis skenario dan sekelebat hal rumit lainnya, merupakan hal sukar yang pernah saya coba. Salah satunya, yaitu media pembelajaran melalui situs forum lingkar pena yang menyajikan pembelajaran singkat mengenai tata cara pembuatan skenario. Atau tentang bagaimana kak Raditya Dika yang ikut membagikan script film-Nya secara gratis untuk mereka-mereka yang ingin belajar menjadi sutradara sejak dini. Susah, ribet, dan sedikit memusingkan. Namun itulah tantangannya.
Saya terpikir kemudian, bahwa pernah terlintas dipikiran saya ketika pertama kali menulis, berkhayal tentang kisah yang difilmkan, ada niat untuk menjamah kak Hanung Bramantyo yang mempunyai sensasi luar biasa kalau menurut saya. Dan malam ini justru memecahkan semua itu. Tidak selalu Hanung Bramantyo, karena masih banyak orang lain di bawahnya yang bergerak ke atas menuju arah yang sama dengan Beliau yang bisa dijadikan tempat untuk belajar dan berbagi karya.
Sama halnya dengan ketika buku-buku best Seller Ilana Tan mulai difilmkan, dibuatkan skenario oleh salah satu PH dan dijamah oleh salah satu sutradara muda Haqi Ahmad yang juga saya kenal dan tahu dari teman-teman Alanda Kariza, saya mengerti. Jika ada Papa AL hari ini, maka haruslah ada bibit baru diusia yang terpaut lebih muda yang mulai bergerak untuk melanjutkan kegemaran beliau dalam dunia perfilman dan melestarikan budaya yang coba untuk Ia pertahankan. Bukankah kita punya banyak anak muda, bibit baru yang tentu masih bisa tumbuh dengan karya yang segar dan tidak tertebak?
Sekali lagi, saya ditampar untuk ke sekian kalinya tentang bagaimana saya menulis dengan nakalnya namun tak lihai dalam menyampaikan banyak hal yang saya ketahui. Dan hingga kini itu masih menjadi PR yang sedang saya coba untuk temukan solusinya.
Mungkin, susah bagi saya untuk berbicara banyak hal seputar dunia yang saya geluti, mengingat walaupun saya banyak gagal, usia belia - 20 tahun, namun tetaplah saya masih penulis bau kencur istilahnya yang merangkak untuk menempa ilmu dan belum banyak tahu. Sehingga, agak sedikit tercipta garis merah di depan saya untuk membatasi diri dalam menyampaikan banyak hal. Saya belum terlalu berpengalaman, dan takut malah menjadi sok tahu akan hal-hal yang saya sendiri belum paham betul (mungkin).
Di balik kondisi lingkungan yang memang, membatasi ruang gerak saya kepada beberapa titik sosial. Dan beberapa masalah hidup yang membuat saya agak menutup diri dan trauma bergaul. Sebuah lingkaran yang hangat itu, masih terasa dingin dan kaku bahkan untuk saya jejaki secara perlahan. Ada beberapa misteri, yang menjadikan diri saya terkunci rapat, bukan enggan bersuara dan enggan mengalir bak air terjun, Tetapi butuh waktu untuk membuka krannya dan membentuk diri saya yang dulu hilang itu agar kembali.
Mungkin hanya lewat kata, ya namun melalui itulah apa yang ingin saya ucapkan tersampaikan dengan lebih baik. Ada yang bilang, kalau penulis yang baik belum tentu pembicara yang baik.
Sama halnya dengan sastra. Saya adalah orang yang paling tidak suka belajar bahasa Indonesia tempo hari. Saya lulus dengan nilai bahasa yang rendah. Dan sekarang saya jadi penulis? Sama halnya dengan ketika saya ingin jadi seorang dokter gigi, namun akhirnya saya malah banting stir ke bidang teknik arsitektural.
Pembelajarannya adalah: kita belajar banyak hal baru dari hal-hal yang kita tidak sukai, tidak lihai atau tidak kita rencanakan sebelumnya. Dan yang ada dan tercipta adalah kita justru menyukainya seiring dengan proses kita melewatinya. Hasilnya? Kita (mungkin) mampu karena kita tahu akan usaha dan perjuangan dimulai dari hati dan rasa suka kita terhadap hal tersebut.
Sedikit sedih, karena ketika saya mulai jatuh menyukai proses tersebut justru saya harus berhenti untuk melangkah. Namun, apalah arti hidup, manusia hanya tahu melangkah dan ada batasan lain yang Tuhan ciptakan yang tak bisa Ia tentang. Dan itulah yang mendewasakan mereka tentang berbagai hal yang terjadi di dunia.
Ibu. Sebutan itu mungkin kurang pas. Walau ya, saya sudah bersuami dan beranak dua. Tapi usia 20 tahun, masih cukup belia untuk saya gunakan bersenang-senang dalam banyak hal di usia anak muda sekitaran saya.
Maka itulah saya berpendapat, bahwa hari ini, esok dan mungkin hingga hari akhirnya, saya dan teman-teman saya tidaklah selalu dalam jalan lurus yang sama. Ada kalanya saya harus berjalan sendirian. Merangkai langkah di jalanan setapak seorang diri. Kita sama-sama berlari, mungkin hari ini kalian mengejar cita-cita. Namun ingatlah bahwa saya bukan berhenti melakukan hal yang serupa, Tetapi saya diberi waktu untuk melakukan hal lain dalam kesempatan yang berbeda. Maka, jika jalur estafet itu sejalan, ada waktunya kita saling bertukar. Berlari lah kalian mengejar cita-cita itu. Maka aku pun tak akan berhenti untuk mengejar mimpi. Toh, kita sama-sama berlari dan nanti pun mana tahu siapa yang akan mendapatkan pita kesuksesan itu lebih dulu. Dunia ini kejam kawan. Cobalah tuk berkenalan. Hanya yang kreatif lah yang bertahan. Kenapa? Karena kemampuan yang disertai akal itu mahal, berbeda dan dicari.
Hari ini, bertemu dengan kak Uun (yang begitu terlambat katanya) juga merupakan hal yang sangat saya syukuri. Paling tidak beliau bisa menjelaskan tentang misteri alasan saya menulis di kala pertama kali. Kalau kata seniman literasi Kak Neni Muhidin - menuliskan tentang kota, kota kita sendiri - Palu.
Dan itu sangat rumit. Kak Uun mengerti sebagaimana susahnya masuk dalam angle yang belum tentu bisa diekspresikan dengan menarik dan menimbulkan daya tarik jika bukan pada tempat yang pas dan khas. Itulah saya agak susah mengerti tentang tulisan sastra dengan bahasa yang super rumit, ketimbang bergelut dengan fiksi metropop modern yang sedang saya pijaki saat ini.
Sekali lagi!
Kita ingin menjadi sesuatu dan terkadang tanpa sadar orang lain ingin kita melakukan hal yang dia pikir sama dengan apa yang mereka kerjakan. Padahal ada ritmenya dan tidak semua orang bisa masuk dalam satu nada yang sama. Ketika itu terjadi, nada itu bisa kacau dan siapa tahu, bisa pula sumbang.
Senyaman-nyamannya kita berkreasi kita tentu tahu seperti apa yang pas dan cocok untuk diri kita sendiri. Karya seperti apa dan wujudnya serupa apa. Maka, tidak perlulah jadi orang lain jika ingin berbuat sesuatu. Kita bertemu banyak orang, mungkin terpikir ingin menjadi seperti dia. Tapi bukan mengikutinya, layaknya dibayang-bayangi olehnya. Tetapi menjadi diri sendiri, dengan jati diri khas yang diciptakan untuk menjadi identitas diri.
Kalau kata Raditya Dika pada saya adalah: Ambil setiap pelajaran dari tiap orang, kelola dan jadikan bentuk jati diri yang baru untukmu.
BALAS DENGAN KARYA, SUPAYA KELIHATAN YANG CUMAN NGOMONG DOANG!
Mungkin benar. Karya kita tidak selalu murni disukai semua orang. Ada banyak orang yang juga mencibir. Tapi kalau kata Pache, tabrak saja. Toh mereka yang berkicau seperti itu, belum tentu lebih baik dari kita. Dia bisa apa, emang dia sudah berbuat apa yang lebih dari kita?
HIDUP YANG TERLALU INSTAN MEMBUAT SEBAGIAN ORANG TIDAK MENGERTI YANG NAMANYA PROSES.
Padahal, sebuah karya tidak murni harus langsung baik dan sempurna. Gagal dan jelek itu adalah satu motivasi pembelajaran untuk menghasilkan karya yang lebih baik dari sebelumnya. INGATLAH, BAHWA KUNCI DARI BERKARYA ADALAH BERTUMBUH. MULAI AJA DULU! Ketika karyamu nyata ada, jangan pikir baik atau jeleknya lebih dahulu. Toh, seiring waktu kamu tentu akan lebih bisa melakukannya dengan lebih baik.
DENGAN MENCIPTAKAN KARYA, DUNIA MENGAKUI BAHWA KAMU ITU ADA. Seperti halnya, pernyataan yang mengatakan bahwa, KAMU MENULIS MAKA KAMU ABADI. Artinya, kamu punya sesuatu untuk dikenang karena kamu telah berbuat.
Miris adalah, ketika karya saya menjadi salah satu buku Best Fiction di kota lain, justru di kota saya sendiri seperti saya tidak dianggap apa-apa. Mungkin benar perkataan Ari Keriting tempo hari, "Di daerah kita bukan apa-apa tapi di tempat lain, kita dipuja-puja."
Masa bodoh. Toh hidup kita yang jalani. Dibalik mereka yang tak peduli masih ada yang peduli kok. Walau mereka kasat mata. Intinya ya bergerak dulu, ciptakan dulu apa itu yang menjadi passionmu. Selanjutnya, begitu telah nyata, orang-orang akan mengerti tentang bagaimana sebuah proses itu menjadi sangat berarti. Jangan hanya berani mencibir doang, tanpa sadar apakah kamu sudah berbuat sesuatu yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan.
:)
----------------------------------------
NK
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!