SUMMER
PARADISE
Hanna
Enka
“Demian, apakah kau baik-baik saja?”
Feba bertanya masih dalam tawanya yang cekikikan.
Demian Joe Davis duduk di pinggiran
pagar kayu yang berjejer tak jauh dari sebuah Pirate Ship berukuran besar di
pinggiran pantai. Jantungnya berpacu kencang diiringi deru napas yang memburu.
Demian merasa seperti orang bodoh karena bisa melupakan hal yang paling ia
takuti yaitu, ketinggian. Kakinya lemas dan masih bergetar karena ketakutan.
“Sini. Kemarilah.”
Demian membiarkan dirinya dituntun
oleh Feba ke bebatuan besar di dekat garis pantai. Ia duduk di atasnya sambil
mengatur napas dengan santai. Ia menoleh ke arah gadis berambut panjang yang
duduk di sampingnya. Hembusan angin membuat rambutnya tergerai indah mengalun
bagai ombak menyapu wajahnya yang berseri-seri. “You did it! Tentu kau senang karena berhasil melakukannya,”
gumamnya. “Kau cukup membuatku menderita karena tidak memperingatkanku sama
sekali.”
Feba Clarina tertawa lepas. Bola mata
Hazelnut-nya berkilat gembira. “Aku
ingin kau mencoba untuk melawan ketertakutanmu itu.” Ucapnya dengan nada riang.
“Aku tidak mengira sebelumnya kalau kau akan benar-benar memanjat di tangga
gantungnya.” Lagi-lagi ia tertawa cekikikan.
Demian menyipitkan mata, namun
bibirnya melengkung tersenyum. “Aku benar-benar hampir mati. Tidak bisa
kubayangkan. Kakiku masih gemetaran karenanya.” Ujar Demian mendesah dengan
keras. “Perhaps, you hypnotize me?”
“Menghipnotismu?” Ulang Feba dengan
alis terangkat. Ia menyapu sejumput rambut hitam yang menutupi wajahnya karena
tiupan angin. “Untuk apa aku melakukannya? Aku pikir, kau sengaja melakukannya
untukku.” Katanya terdengar ragu.
Senyum Demian melebar. “Melakukannya
untukmu?”
Hidung Feba berkerut. “Kau tidak
bisa menyalahkanku. Ini Pirate Bay, kau kaptennya, sudah kewajibanmu mengawasi
bajak laut lainnya dari Watch Tower, Demian!” Katanya lalu tertawa mengejek.
“Baiklah! Kau menang.” Ujar Demian
menyerah. Ia mulai merasa lebih baik dari sebelumnya. “Kata-katamu benar.
Pantai ini indah. Lebih mempesona dibandingkan dengan pantai selatan Miami yang
padat.”
“Bersyukurlah karena akhirnya kita
bisa pergi ke tempat ini. Soal janjiku, sudah kutepati kan?”
“Ya,” Demian mengangguk. “Terima
kasih. Kau sangat murah hati karena mau menemaniku ke tempat ini.” Kata Demian
sambil tersenyum.
Selama beberapa saat mereka berdua
duduk di sana tanpa berkata apa-apa. Duduk berdekatan, bahu bersentuhan. Suara
debur ombak diiringi suara hembusan angin yang menderu terdengar di telinga
Demian, membuat hatinya merasa begitu tenang dan nyaman. Demian memejamkan mata
dan menikmati angin laut yang berhembus kencang menerpa wajahnya, membuat
hidung dan pipinya terasa dingin.
Demian meninggalkan Miami, Florida
untuk sementara waktu dan berlibur bersama Feba di Bali seperti janji mereka
dulu saat berada di gunung Matantimati, negeri di atas awan dan surga
paralayang. Harus ia akui, Indonesia memang mempunyai banyak potensi Alam yang
luar biasa dan menakjubkan. Hal itulah yang tidak pernah ia sesalkan semenjak
mengenal Feba. Gadis itu sangat memahami dirinya yang begitu memiliki ketertarikan
yang besar dengan Alam.
Demian membuka mata dan menoleh
menatap Feba. Gadis itu tidak sadar dirinya sedang ditatap olehnya. Ia terlihat
sedang melamun. Seulas senyum samar tersungging di bibirnya. Demian ingin tahu
apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu sekarang.
“Ah,” Kata Feba tiba-tiba. Ia
menoleh menatap Demian dengan bibir manyun dan hidung berkerut. “Aku lapar.
Kita sama sekali belum menyantap apapun sejak tiba di Bali.”
“Benar. Baiklah, aku akan pergi
memesan makanan.”
“Ah, tidak!” Feba menahannya. “Biar
aku saja.” Ia turun dari batu besar yang ia duduki, lalu mengibaskan tangan
berkata, “Tunggulah aku di Tree House. I’ll
be back soon.” Demian hanya bisa tersenyum sementara Feba berlari-lari
kecil meninggalkannya pergi ke arah Pirate Kitchen yang berada tak jauh dari
sana. Ia menarik napas dalam-dalam dan menengadah memandang langit biru yang
membentang. Langit hari ini terlihat cerah tanpa awan putih yang berbekas.
Matahari pun bersinar terik tanpa ada yang menghalangi. Langit dan lautan yang
sama-sama berwarna biru itu seakan menyatu tanpa batas dan tak berujung. Musim
panas bukan hanya menghangatkan tubuhnya, tetapi juga menghangatkan hatinya.
Tepatnya sejak ia mengenal perempuan
itu. Untuk pertama kalinya ia jatuh cinta pada Wanita setelah sekian lama.
Feba Clarina, yang membuatnya
tertarik sejak pertama kali bertemu di Pasion Del Cielo. Kenangan lama
terungkit kembali dan akhirnya membawa Demian kembali pada gadis itu.
Ia berjalan melintasi pasir putih
yang menjalar di sepanjang langkah kakinya menuju Tree House. Otaknya masih
melayang memikirkan perubahan dirinya saat ini. Demian yang tidak pernah
bergantung pada orang lain, mulai merasakan sesuatu yang sangat berbeda bila
bersama dengan Feba. Ia jujur mengakui, kalau dirinya sangat membutuhkan gadis
itu.
*****
TREE HOUSE
Feba berjalan kembali menghampiri
Demian yang menunggunya di Tree House. Hari itu merupakan hari yang
menyenangkan untuknya. Langkah kakinya yang riang dan ringan mengalun berirama
menaiki tangga-tangga kayu yang kecil menuju Tree House. Beberapa orang Wanita
memakai kain Kamen dengan motif ragam Batik dan Barong mengikutinya naik ke
Tree House sambil membawa nampan berisi makanan yang dipesan oleh Feba.
Feba melepaskan Pink Vest-nya dan meletakkannya di sofa yang berada tidak jauh
darinya lalu membantu pelayan-pelayan Wanita itu menyajikan makanan di atas
meja yang terbuat dari kayu. Demian duduk di bangku panjang meja makan
berhadapan dengan Alam lepas dengan pemandangan laut biru dan pasir putih yang
terhampar luas sejauh mata memandang. “Wow! Hari ini kita makan besar,”
gumamnya. “Lihatlah, kau memesan beraneka menu.”
“Kuharap kau akan suka. Kau harus
mencicipi berbagai Indonesian Cuisine
selagi kau di sini, Dem.” Kata Feba sambil duduk di sebelah Demian.
“Ya. Aku bukanlah tipe pemilih dalam
urusan makanan. Kau ingat ketika membuatkan Rendang waktu makan malam kita di
Apartemen milik Rein? Aku menyukainya. Aku akui aku adalah pencinta masakan
Asia.”
Feba tersenyum lebar. “Aku tahu, aku
tahu. Kau pernah mengatakannya.” Katanya sambil meletakkan piring di depan
Demian.
“Benarkah?” Demian terlihat heran.
“Kau tidak ingat? Kau mengatakannya
ketika mengajakku makan gratis di restoran Jepang di Miami.”
Demian memiringkan kepala, berpikir
sejenak, lalu menggeleng.
Feba terkesiap dramatis, pura-pura
terkejut. “Bagaimana kau bisa melupakannya, kau sampai membuatku merasa
bersalah hanya untuk sekedar mengetahui namaku. Kau mengajakku makan Sushi hari
itu. Kau tidak ingat sama sekali bagaimana aku mengalahkanmu dalam lomba makan
Sushi kita? Kupikir kau akan mengingatnya dengan baik. Itu adalah kencan
pertama kita.”
“Kencan?” Demian tertawa lepas. “Aku
ingat. Kau memberikan kesan yang mendalam padaku sehingga membuat aku semakin
ingin tahu lebih banyak tentangmu.”
Feba mengerutkan hidung dan
tersenyum malu mendengarkan ucapan Demian barusan. “Perkataan apa barusan? Kau
membuatku malu.” Ia terdiam sejenak, melirik Demian, dan melanjutkan, “Aku
sempat mengira laki-laki itu kau, bodohnya aku yang beranggapan kalau ternyata
laki-laki yang kucari adalah Rein.” Jelasnya mengenang.
Demian menatap mata Feba dan
menyunggingkan senyum yang entah kenapa selalu membuat Feba salah tingkah. “Enough, aku tidak ingin mendengar cerita
flashback untuk ke sekian kalinya.
Bisa kita mulai makan sekarang?”
Feba berdeham dan memalingkan wajah
dan melihat semua makanan yang tersaji di hadapannya secara bergantian. “Ada
Chicken Sandwich Mayo, Calanari and Chip, Banana Chocolate Crepes, Fried Ice
Cream, kau mau mencoba yang mana dulu?”
CHICKEN SANDWICH MAYO
CALAMARI AND CHIP
BANANA CHOCOLATE CREPES
FRIED ICE CREAM
Demian melihat dari satu piring ke
piring lainnya dengan tatapan bingung.
“Ah, kau harus mencoba Bebek Bengil ini.
Menu ini adalah menu populer di The Bay Bali.” Kata Feba memberi saran lalu
menyendokkannya ke dalam piring milik Demian. Demian menyantapnya dalam
potongan kecil lalu mendecakkan lidah. “This
is the first time I ate duck, seriously!”
Feba tertawa melihat ekspresi Demian.
“How the taste? Enak bukan?”
BEBEK BENGIL dengan sambal mata
Demian mengangguk mengiyakan lalu
mengambil sendoknya dan mulai menikmatinya bersama Nasi dan sambal goreng.
“Rasanya original dan renyah.” Ia menoleh pada Feba sambil mengangkat alisnya
secara berulang. “Aku berharap kau membuatkan makanan seperti ini untukku
setiap hari.”
Feba berteriak lalu tertawa.
“Tenanglah! Aku adalah kokimu sekarang.” Mereka berdua tertawa bahagia diantara
suara debur ombak yang menderu dan kicauan burung-burung kecil di atas pohon.
“Nikmatilah makananmu. Kita masih mempunyai banyak schedule yang harus kita lakukan selama kita di sini.”
*****
Demian dan Feba duduk bersebelahan.
Feba menyandarkan kepalanya di bahu Demian. Mereka duduk di atas pasir putih
sambil menyaksikan pemandangan matahari terbenam di garis batas antara lautan
dan langit. Langit biru cerah itu seketika berubah menjadi warna lembayung yang
mempesonakan mata untuk menikmati pemandangannya.
“Oh, ya. Coba lihat apa yang kubeli
ketika kita tiba di bandara,” katanya sambil membuka kantong pelastik berwarna
putih yang ia selipkan diantara Beach
Pareo-nya yang berwarna Tosca. “Taraaaaa!”
Demian mengerjap menatap sebuah topi
berwarna coklat dengan motif batik yang diacungkan Feba. “Apa itu?”
“Kau harus mengenakan ini. Ini
adalah Udeng. Penutup kepala khas Bali. Laki-laki Bali juga memakainya. Aku
ingin melihatmu memakai ini Demian. Jangan kau lepas sampai acara Fire Dance-nya selesai.” Feba
meletakkannya tepat di atas kepala Demian sementara Demian hanya menatap gadis
itu dengan alis mengkerut. “Kita harus berfoto. Mana kameramu? Aku akan meminta
seseorang untuk memotret kita.”
Demian menyerahkan kameranya dan
Feba segera mencegat seorang Pria Turki yang berjalan lewat di depan mereka
sambil menggandeng peralatan Snorkeling-nya.
“Senyum, oke?” Kata Feba ketika ia
kembali lagi ke sisi Demian.
“Kapan aku tidak tersenyum ketika
bersama denganmu?” Demian balas bertanya.
Feba berpikir sejenak sambil
bergumam, “Hm…. Tidak pernah.”
“Benar. Sekarang mari kita
selesaikan ini sebelum acara Fire Dance-nya
dimulai.” Kata Demian sambil merangkul bahu Feba dan menariknya lebih dekat.
Feba menahan napas tanpa sadar dan
jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Satu kali jepretan sudah
mengisi kamera milik Demian. Feba mendongak menatap Demian dan mengerjap.
Laki-laki itu mencium keningnya dengan hangat. Momen itu diabadikan oleh kamera
yang sedang dipegang oleh Pria Turki di depan mereka. Feba tidak berkata
apa-apa setelahnya. Demian melepaskan rangkulannya dan berjalan menghampiri Pria
itu sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Demian berjalan mendekati Feba
lalu menyodorkan kamera agar perempuan itu bisa mengamati dengan jelas hasil
pengambilan gambar mereka barusan. “Bagus bukan?” Tanya Demian tidak berhenti
tersenyum.
Feba mengamatinya lebih seksama.
Hasilnya memang sangat cantik. Foto mereka berdua, yang berupa siluet berlatar
warna lembayung matahari terbenam tepat di belakang mereka. Satu kebahagiaan
tak terkira tersirat di benaknya. Feba mulai menyadari, laki-laki itu, hanya dia
yang bisa membuat Feba merasa berdebar-debar tanpa henti. “Kau terlihat manis
memakai Udeng itu.” Feba terdengar memuji. Demian hanya membalas dengan
senyuman malu mempesona khasnya.
“Lihat, orang-orang mulai berkumpul.
Sepertinya acara Fire Dance-nya akan
segera di mulai. Ayo kita bergabung.” Kata Demian sambil menggenggam tangan
Feba dengan hangat. Jari-jemari mereka saling berhimpitan. Feba merasakan
wajahnya memanas. Nothing can explain
what I feel right now. Unlimited happiness inside, with him by my side.
Mereka bergabung dengan beberapa
orang lainnya yang sudah berkumpul di dekat api unggun yang begitu besar.
Banyak wisatawan asing di sana sudah duduk membentuk barisan rapi untuk
menyaksikan pertunjukkan Fire Dance.
Feba duduk tepat di sebelah Demian. Laki-laki itu sibuk memotret sekelilingnya.
FIRE DANCE
Ketika semua orang telah berkumpul
pertunjukkan pun segera dimulai. Fire
Dancer-nya melakukan adegan yang sangat menegangkan. Bukan hanya laki-laki
yang melakukannya tetapi, perempuan pun juga dapat melakukan adegan berbahaya
itu. Mereka berkolaborasi bersama. Memainkan api dalam berbagai jenis adegan
yang berbeda-beda. Sorak-sorai penonton mulai terdengar diselingi dengan tepuk
tangan riuh mereka. Demian menikmatinya. Ia bahkan melakukan standing applause. Feba tahu, mungkin
itu adalah kali pertama Demian menyaksikan pertunjukkan seperti itu secara
langsung.
“Mereka hebat!” Bisik Demian di
telinga Feba dengan takjub.
“Kau menikmatinya?” Tanya Feba dalam
suara yang keras karena keramaian suara musik dan suara penonton nyaris
mengalahkan suaranya. Demian mengangguk. Feba membalas dengan seulas senyuman
bahagianya.
Pertunjukkan Fire Dance berakhir kemudian disusul dengan pertunjukkan tari khas
Bali. Penari-penari Wanita itu mulai berjalan memasuki kerumunan penonton dan
mulai menari dengan bahagia. Sekali lagi Demian memberikan tepuk tangan meriah
diselingi teriakannya. “Indonesia has
lots of Arts. Not just in foods but also in everything. Glad to be here!”
Feba menarik lengan Demian dan
mengajaknya ke sisi lain pantai. Mereka berbaur bersama orang-orang lain yang
bersiap-siap untuk menerbangkan lampu lentera. Feba melepaskan lengan Demian
dan berjalan mendekati sang penjaga pantai yang sedang membagi-bagikan
lampu-lampu lentera yang akan mereka terbangkan. Feba mengambil dua lentera,
satu untuk ia berikan pada Demian. Demian mengalungkan kameranya lalu mengambil
lentera yang diberikan oleh Feba padanya.
“Kita tidak boleh melewatkan ini.”
Kata Feba dengan nada riang. “Mereka terlihat cantik bukan? Seperti bintang.”
Demian menoleh pada gadis itu. Ia
menatap wajah Feba yang diterpa cahaya lampu lentera. Cantik sekali. Senyuman
itu yang membuatnya jatuh cinta. “Feba, kau ingin punya berapa anak?”
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat
Feba menoleh cepat pada Demian. “Apa?”
“Kau ingin punya berapa anak?” Ulang
Demian, matanya yang berwarna pirus itu balas menatap Feba. “Kalau sudah
menikah nanti, maksudku.”
Feba mengerjap. “Kau mengajakku
menikah?”
Demian menyikut lengan Feba dan
menggerutu. “Jangan salah sangka dulu. Aku tidak mengajakmu menikah. Aku hanya
bertanya.”
Feba mendesah dengan keras.
Memandang jauh ke langit gelap. Ia melihat beberapa orang sudah menerbangkan
lampu lentera mereka. “Hm… Yang penting lebih dari satu. Kau tahu aku anak
tunggal kan? Sendirian membuatku sering merasa kesepian.” Ia terdiam, lalu
kembali menatap Demian. “Mungkin tiga, itu akan lebih baik bukan?”
Demian mengangkat bahu. “Kurasa
begitu. Laki-laki atau perempuan?”
Giliran Feba yang mengangkat bahu.
“Yang mana saja terserah. Aku tidak keberatan.” Ia terdiam sejenak pura-pura
berpikir keras. “Apa mungkin ini caramu melamarku?”
Demian langsung memalingkan wajahnya
dari tatapan Feba. “Seandainya aku memang melamarmu,” balas Demian santai, “Apa
jawabanmu?”
Feba menatapnya selama beberapa
saat, lalu memandang kosong pada lampu lentera yang sedang ia pegang dengan
kedua tangannya. “Apa kau percaya pada bintang jatuh Demian? Apa kau percaya
permohonan yang diucapkan ketika mereka melintas bisa terkabulkan?”
“Em, tidak juga.” Gumamnya tidak
yakin.
“Ketika mereka menerbangkan lampu
lenteranya, mereka tidak akan lupa untuk mengucapkan permohonan mereka. It’s like send message to the sky.” Ia
menoleh pada Demian. “Kau penasaran dengan jawabanku akan pertanyaanmu barusan,
kan? Aku tidak akan bilang. Cukup waktu yang kubiarkan menjawabnya. Aku takut
harapanku tidak sesuai dengan kenyataan, Dem.” Feba berjalan bergabung bersama
orang-orang lainnya. Demian mengikutinya dan masih setia berdiri beriringan
dengan gadis itu. “Ucapkan pesanmu kepada langit Demian. Kita akan menerbangkan
lenteranya sekarang.”
LANTERN
Demian melirik pada Feba sesaat. Gadis
itu memejamkan matanya. Bisa ditebak, ia pasti sedang mengucapkan permohonannya
sekarang. Demian ikut hanyut dalam suasana tenang walaupun hiruk pikuk terdengar
samar-samar di telinganya. Ia mengucapkan permohonannya dalam hati, berharap
pesan yang akan ia layangkan ke langit dapat didengar dan dikabulkan. Jika gadis yang sedang bersamaku ini adalah
jodohku, jangan pernah biarkan ia jauh dariku. Jika bintang di langit memang
dapat mengabulkan permohonan, tolong biarkan aku mewujudkan kebahagiaannya
apapun itu.
Feba melepaskan lampu lenteranya ke
udara. Efek panas dari lilin yang berada di tengahnya membuat lampu lentera itu
terbang jauh ke langit bersama hembusan angin musim panas. Demian pun
melepaskan lampu lenteranya ke udara. Keduanya mengamati langit tepat di atas
kepala mereka. Lampu lentera itu berjejer, menyala, seakan membentuk jembatan
ke langit.
Feba melirik Demian sejenak. Ia
menatap kosong pada laki-laki itu. Seandainya
kau tahu jawabanku, Dem. Siapapun, perempuan di dunia ini akan sangat bahagia
bila dapat dicintai oleh orang yang ia cintai. Kebahagiaan itu akan sempurna,
ketika orang itu juga yang akan menjadi pendamping hidupnya hingga tua.
Memilikimu di sini sekarang, di sebelahku, adalah satu kebahagiaan yang tidak
akan bisa ditukar dengan apapun.
“Hey,
dude! Wanna sing a song?” Seorang Pria Aussie menepuk pundak Demian hingga
menyadarkan Feba dari lamunan sesaatnya. Pria itu menawarkan Ukulele padanya.
Demian menyambutnya dengan senang hati.
Demian menarik lengan Feba dan
bergabung bersama orang-orang lainnya di dekat api unggun. Ia memberi kode pada
Feba agar duduk manis. Feba tersenyum. Laki-laki itu berjalan ke tengah-tengah
kerumunan orang dan mulai memainkan Ukulelenya berdua bersama Pria Aussie itu.
Petikan Ukulele itu mulai mengalun hingga ke telinga Feba. Feba menggerakkan
tubuhnya mengikuti nada petikannya. Begitupun dengan orang lainnya yang juga
berkumpul di tempat itu. Demian memberikan kode kepada Feba dengan bibirnya
yang bergerak tanpa suara. Feba melihatnya samar-samar. Jika ia tidak salah,
mungkin Demian mengatakan, “This song is
for you.”
My heart is sinking, As I’m lifting up above the clouds away from you.And I can’t believe I’m leaving, Oh I don’t kno-kno-know what I’m gonna do.But someday, I’ll find my way back to where your name is written in the sand.Reff:Cause I remember every sunset, I remember every word you said.We were never gonna say goodbye, singing la-da-da-da-da.Tell me how to get back to, back to summer paradise with you, Oh-ohAnd il’ll be there in a heartbeat, Oh-oh, I’ll be there in a heartbeat.Yeah, I remember sunny mornings, And summer eveningsNow you’re next to me and I am freezing, was it real?Oh baby, tell me, was I dreaming? How can you show me paradise when I’m leaving.
Feba tersipu malu mendengar setiap
lirik yang dinyanyikan Demian untuknya. Bila dunia bertanya padanya, apakah kau
bahagia? Feba tidak akan pernah takut untuk menjawab dengan suara lantang bahwa ia sangat bahagia bisa bersama
laki-laki itu. Demian adalah arti dari kebahagiaan yang tercurah dalam senyuman
manisnya yang merekah setiap hari. Terima
kasih sudah mau menjadi bagian dari hidupku, Dem!
*****
bagus sekali ceritanya :))
ReplyDeleteSebuah kisah cinta yang romantis :)
ReplyDeleteterima kasih sudah membaca :)
ReplyDeletemangstab gan ... bd ...
ReplyDeleteI like it. :) Yang mau baca versi saya, silahkan mampir ke blog saya & jangan lupa tinggalkan komentar. :)
ReplyDeletedi sini cerpennya, tentang perbedaan agama :) http://nelvianti.blogspot.com
ReplyDelete