Friday, March 28, 2014

Summer Paradise - Hanna Enka


SUMMER PARADISE
Hanna Enka





               “Demian, apakah kau baik-baik saja?” Feba bertanya masih dalam tawanya yang cekikikan.
            Demian Joe Davis duduk di pinggiran pagar kayu yang berjejer tak jauh dari sebuah Pirate Ship berukuran besar di pinggiran pantai. Jantungnya berpacu kencang diiringi deru napas yang memburu. Demian merasa seperti orang bodoh karena bisa melupakan hal yang paling ia takuti yaitu, ketinggian. Kakinya lemas dan masih bergetar karena ketakutan.


              “Sini. Kemarilah.”
            Demian membiarkan dirinya dituntun oleh Feba ke bebatuan besar di dekat garis pantai. Ia duduk di atasnya sambil mengatur napas dengan santai. Ia menoleh ke arah gadis berambut panjang yang duduk di sampingnya. Hembusan angin membuat rambutnya tergerai indah mengalun bagai ombak menyapu wajahnya yang berseri-seri. “You did it! Tentu kau senang karena berhasil melakukannya,” gumamnya. “Kau cukup membuatku menderita karena tidak memperingatkanku sama sekali.”
            Feba Clarina tertawa lepas. Bola mata Hazelnut-nya berkilat gembira. “Aku ingin kau mencoba untuk melawan ketertakutanmu itu.” Ucapnya dengan nada riang. “Aku tidak mengira sebelumnya kalau kau akan benar-benar memanjat di tangga gantungnya.” Lagi-lagi ia tertawa cekikikan.
            Demian menyipitkan mata, namun bibirnya melengkung tersenyum. “Aku benar-benar hampir mati. Tidak bisa kubayangkan. Kakiku masih gemetaran karenanya.” Ujar Demian mendesah dengan keras. “Perhaps, you hypnotize me?
            “Menghipnotismu?” Ulang Feba dengan alis terangkat. Ia menyapu sejumput rambut hitam yang menutupi wajahnya karena tiupan angin. “Untuk apa aku melakukannya? Aku pikir, kau sengaja melakukannya untukku.” Katanya terdengar ragu.
            Senyum Demian melebar. “Melakukannya untukmu?”
            Hidung Feba berkerut. “Kau tidak bisa menyalahkanku. Ini Pirate Bay, kau kaptennya, sudah kewajibanmu mengawasi bajak laut lainnya dari Watch Tower, Demian!” Katanya lalu tertawa mengejek.
            “Baiklah! Kau menang.” Ujar Demian menyerah. Ia mulai merasa lebih baik dari sebelumnya. “Kata-katamu benar. Pantai ini indah. Lebih mempesona dibandingkan dengan pantai selatan Miami yang padat.”
            “Bersyukurlah karena akhirnya kita bisa pergi ke tempat ini. Soal janjiku, sudah kutepati kan?”
            “Ya,” Demian mengangguk. “Terima kasih. Kau sangat murah hati karena mau menemaniku ke tempat ini.” Kata Demian sambil tersenyum.
            Selama beberapa saat mereka berdua duduk di sana tanpa berkata apa-apa. Duduk berdekatan, bahu bersentuhan. Suara debur ombak diiringi suara hembusan angin yang menderu terdengar di telinga Demian, membuat hatinya merasa begitu tenang dan nyaman. Demian memejamkan mata dan menikmati angin laut yang berhembus kencang menerpa wajahnya, membuat hidung dan pipinya terasa dingin.
            Demian meninggalkan Miami, Florida untuk sementara waktu dan berlibur bersama Feba di Bali seperti janji mereka dulu saat berada di gunung Matantimati, negeri di atas awan dan surga paralayang. Harus ia akui, Indonesia memang mempunyai banyak potensi Alam yang luar biasa dan menakjubkan. Hal itulah yang tidak pernah ia sesalkan semenjak mengenal Feba. Gadis itu sangat memahami dirinya yang begitu memiliki ketertarikan yang besar dengan Alam.
            Demian membuka mata dan menoleh menatap Feba. Gadis itu tidak sadar dirinya sedang ditatap olehnya. Ia terlihat sedang melamun. Seulas senyum samar tersungging di bibirnya. Demian ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu sekarang.
            “Ah,” Kata Feba tiba-tiba. Ia menoleh menatap Demian dengan bibir manyun dan hidung berkerut. “Aku lapar. Kita sama sekali belum menyantap apapun sejak tiba di Bali.”
            “Benar. Baiklah, aku akan pergi memesan makanan.”
            “Ah, tidak!” Feba menahannya. “Biar aku saja.” Ia turun dari batu besar yang ia duduki, lalu mengibaskan tangan berkata, “Tunggulah aku di Tree House. I’ll be back soon.” Demian hanya bisa tersenyum sementara Feba berlari-lari kecil meninggalkannya pergi ke arah Pirate Kitchen yang berada tak jauh dari sana. Ia menarik napas dalam-dalam dan menengadah memandang langit biru yang membentang. Langit hari ini terlihat cerah tanpa awan putih yang berbekas. Matahari pun bersinar terik tanpa ada yang menghalangi. Langit dan lautan yang sama-sama berwarna biru itu seakan menyatu tanpa batas dan tak berujung. Musim panas bukan hanya menghangatkan tubuhnya, tetapi juga menghangatkan hatinya.
            Tepatnya sejak ia mengenal perempuan itu. Untuk pertama kalinya ia jatuh cinta pada Wanita setelah sekian lama.
            Feba Clarina, yang membuatnya tertarik sejak pertama kali bertemu di Pasion Del Cielo. Kenangan lama terungkit kembali dan akhirnya membawa Demian kembali pada gadis itu.
            Ia berjalan melintasi pasir putih yang menjalar di sepanjang langkah kakinya menuju Tree House. Otaknya masih melayang memikirkan perubahan dirinya saat ini. Demian yang tidak pernah bergantung pada orang lain, mulai merasakan sesuatu yang sangat berbeda bila bersama dengan Feba. Ia jujur mengakui, kalau dirinya sangat membutuhkan gadis itu.

*****



TREE HOUSE

            Feba berjalan kembali menghampiri Demian yang menunggunya di Tree House. Hari itu merupakan hari yang menyenangkan untuknya. Langkah kakinya yang riang dan ringan mengalun berirama menaiki tangga-tangga kayu yang kecil menuju Tree House. Beberapa orang Wanita memakai kain Kamen dengan motif ragam Batik dan Barong mengikutinya naik ke Tree House sambil membawa nampan berisi makanan yang dipesan oleh Feba.
            Feba melepaskan Pink Vest-nya dan meletakkannya di sofa yang berada tidak jauh darinya lalu membantu pelayan-pelayan Wanita itu menyajikan makanan di atas meja yang terbuat dari kayu. Demian duduk di bangku panjang meja makan berhadapan dengan Alam lepas dengan pemandangan laut biru dan pasir putih yang terhampar luas sejauh mata memandang. “Wow! Hari ini kita makan besar,” gumamnya. “Lihatlah, kau memesan beraneka menu.”
            “Kuharap kau akan suka. Kau harus mencicipi berbagai Indonesian Cuisine selagi kau di sini, Dem.” Kata Feba sambil duduk di sebelah Demian.
            “Ya. Aku bukanlah tipe pemilih dalam urusan makanan. Kau ingat ketika membuatkan Rendang waktu makan malam kita di Apartemen milik Rein? Aku menyukainya. Aku akui aku adalah pencinta masakan Asia.”
            Feba tersenyum lebar. “Aku tahu, aku tahu. Kau pernah mengatakannya.” Katanya sambil meletakkan piring di depan Demian.
            “Benarkah?” Demian terlihat heran.
            “Kau tidak ingat? Kau mengatakannya ketika mengajakku makan gratis di restoran Jepang di Miami.”
            Demian memiringkan kepala, berpikir sejenak, lalu menggeleng.
            Feba terkesiap dramatis, pura-pura terkejut. “Bagaimana kau bisa melupakannya, kau sampai membuatku merasa bersalah hanya untuk sekedar mengetahui namaku. Kau mengajakku makan Sushi hari itu. Kau tidak ingat sama sekali bagaimana aku mengalahkanmu dalam lomba makan Sushi kita? Kupikir kau akan mengingatnya dengan baik. Itu adalah kencan pertama kita.”
            “Kencan?” Demian tertawa lepas. “Aku ingat. Kau memberikan kesan yang mendalam padaku sehingga membuat aku semakin ingin tahu lebih banyak tentangmu.”
            Feba mengerutkan hidung dan tersenyum malu mendengarkan ucapan Demian barusan. “Perkataan apa barusan? Kau membuatku malu.” Ia terdiam sejenak, melirik Demian, dan melanjutkan, “Aku sempat mengira laki-laki itu kau, bodohnya aku yang beranggapan kalau ternyata laki-laki yang kucari adalah Rein.” Jelasnya mengenang.
            Demian menatap mata Feba dan menyunggingkan senyum yang entah kenapa selalu membuat Feba salah tingkah. “Enough, aku tidak ingin mendengar cerita flashback untuk ke sekian kalinya. Bisa kita mulai makan sekarang?”
            Feba berdeham dan memalingkan wajah dan melihat semua makanan yang tersaji di hadapannya secara bergantian. “Ada Chicken Sandwich Mayo, Calanari and Chip, Banana Chocolate Crepes, Fried Ice Cream, kau mau mencoba yang mana dulu?”


 CHICKEN SANDWICH MAYO


CALAMARI AND CHIP
 

BANANA CHOCOLATE CREPES
 

FRIED ICE CREAM
 
                      Demian melihat dari satu piring ke piring lainnya dengan tatapan bingung.
                “Ah, kau harus mencoba Bebek Bengil ini. Menu ini adalah menu populer di The Bay Bali.” Kata Feba memberi saran lalu menyendokkannya ke dalam piring milik Demian. Demian menyantapnya dalam potongan kecil lalu mendecakkan lidah. “This is the first time I ate duck, seriously!
                   Feba tertawa melihat ekspresi Demian. “How the taste? Enak bukan?”



BEBEK BENGIL dengan sambal mata

            Demian mengangguk mengiyakan lalu mengambil sendoknya dan mulai menikmatinya bersama Nasi dan sambal goreng. “Rasanya original dan renyah.” Ia menoleh pada Feba sambil mengangkat alisnya secara berulang. “Aku berharap kau membuatkan makanan seperti ini untukku setiap hari.”
            Feba berteriak lalu tertawa. “Tenanglah! Aku adalah kokimu sekarang.” Mereka berdua tertawa bahagia diantara suara debur ombak yang menderu dan kicauan burung-burung kecil di atas pohon. “Nikmatilah makananmu. Kita masih mempunyai banyak schedule yang harus kita lakukan selama kita di sini.”
*****



            Demian dan Feba duduk bersebelahan. Feba menyandarkan kepalanya di bahu Demian. Mereka duduk di atas pasir putih sambil menyaksikan pemandangan matahari terbenam di garis batas antara lautan dan langit. Langit biru cerah itu seketika berubah menjadi warna lembayung yang mempesonakan mata untuk menikmati pemandangannya.
            “Oh, ya. Coba lihat apa yang kubeli ketika kita tiba di bandara,” katanya sambil membuka kantong pelastik berwarna putih yang ia selipkan diantara Beach Pareo-nya yang berwarna Tosca. “Taraaaaa!”
            Demian mengerjap menatap sebuah topi berwarna coklat dengan motif batik yang diacungkan Feba. “Apa itu?”
            “Kau harus mengenakan ini. Ini adalah Udeng. Penutup kepala khas Bali. Laki-laki Bali juga memakainya. Aku ingin melihatmu memakai ini Demian. Jangan kau lepas sampai acara Fire Dance-nya selesai.” Feba meletakkannya tepat di atas kepala Demian sementara Demian hanya menatap gadis itu dengan alis mengkerut. “Kita harus berfoto. Mana kameramu? Aku akan meminta seseorang untuk memotret kita.”
            Demian menyerahkan kameranya dan Feba segera mencegat seorang Pria Turki yang berjalan lewat di depan mereka sambil menggandeng peralatan Snorkeling-nya. “Senyum,  oke?” Kata Feba ketika ia kembali lagi ke sisi Demian.
            “Kapan aku tidak tersenyum ketika bersama denganmu?” Demian balas bertanya.
            Feba berpikir sejenak sambil bergumam, “Hm…. Tidak pernah.”
            “Benar. Sekarang mari kita selesaikan ini sebelum acara Fire Dance-nya dimulai.” Kata Demian sambil merangkul bahu Feba dan menariknya lebih dekat.
            Feba menahan napas tanpa sadar dan jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Satu kali jepretan sudah mengisi kamera milik Demian. Feba mendongak menatap Demian dan mengerjap. Laki-laki itu mencium keningnya dengan hangat. Momen itu diabadikan oleh kamera yang sedang dipegang oleh Pria Turki di depan mereka. Feba tidak berkata apa-apa setelahnya. Demian melepaskan rangkulannya dan berjalan menghampiri Pria itu sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Demian berjalan mendekati Feba lalu menyodorkan kamera agar perempuan itu bisa mengamati dengan jelas hasil pengambilan gambar mereka barusan. “Bagus bukan?” Tanya Demian tidak berhenti tersenyum.
            Feba mengamatinya lebih seksama. Hasilnya memang sangat cantik. Foto mereka berdua, yang berupa siluet berlatar warna lembayung matahari terbenam tepat di belakang mereka. Satu kebahagiaan tak terkira tersirat di benaknya. Feba mulai menyadari, laki-laki itu, hanya dia yang bisa membuat Feba merasa berdebar-debar tanpa henti. “Kau terlihat manis memakai Udeng itu.” Feba terdengar memuji. Demian hanya membalas dengan senyuman malu mempesona khasnya.
            “Lihat, orang-orang mulai berkumpul. Sepertinya acara Fire Dance-nya akan segera di mulai. Ayo kita bergabung.” Kata Demian sambil menggenggam tangan Feba dengan hangat. Jari-jemari mereka saling berhimpitan. Feba merasakan wajahnya memanas. Nothing can explain what I feel right now. Unlimited happiness inside, with him by my side.
            Mereka bergabung dengan beberapa orang lainnya yang sudah berkumpul di dekat api unggun yang begitu besar. Banyak wisatawan asing di sana sudah duduk membentuk barisan rapi untuk menyaksikan pertunjukkan Fire Dance. Feba duduk tepat di sebelah Demian. Laki-laki itu sibuk memotret sekelilingnya.




FIRE DANCE

            Ketika semua orang telah berkumpul pertunjukkan pun segera dimulai. Fire Dancer-nya melakukan adegan yang sangat menegangkan. Bukan hanya laki-laki yang melakukannya tetapi, perempuan pun juga dapat melakukan adegan berbahaya itu. Mereka berkolaborasi bersama. Memainkan api dalam berbagai jenis adegan yang berbeda-beda. Sorak-sorai penonton mulai terdengar diselingi dengan tepuk tangan riuh mereka. Demian menikmatinya. Ia bahkan melakukan standing applause. Feba tahu, mungkin itu adalah kali pertama Demian menyaksikan pertunjukkan seperti itu secara langsung.
            “Mereka hebat!” Bisik Demian di telinga Feba dengan takjub.
            “Kau menikmatinya?” Tanya Feba dalam suara yang keras karena keramaian suara musik dan suara penonton nyaris mengalahkan suaranya. Demian mengangguk. Feba membalas dengan seulas senyuman bahagianya.
            Pertunjukkan Fire Dance berakhir kemudian disusul dengan pertunjukkan tari khas Bali. Penari-penari Wanita itu mulai berjalan memasuki kerumunan penonton dan mulai menari dengan bahagia. Sekali lagi Demian memberikan tepuk tangan meriah diselingi teriakannya. “Indonesia has lots of Arts. Not just in foods but also in everything. Glad to be here!
            Feba menarik lengan Demian dan mengajaknya ke sisi lain pantai. Mereka berbaur bersama orang-orang lain yang bersiap-siap untuk menerbangkan lampu lentera. Feba melepaskan lengan Demian dan berjalan mendekati sang penjaga pantai yang sedang membagi-bagikan lampu-lampu lentera yang akan mereka terbangkan. Feba mengambil dua lentera, satu untuk ia berikan pada Demian. Demian mengalungkan kameranya lalu mengambil lentera yang diberikan oleh Feba padanya.
            “Kita tidak boleh melewatkan ini.” Kata Feba dengan nada riang. “Mereka terlihat cantik bukan? Seperti bintang.”
            Demian menoleh pada gadis itu. Ia menatap wajah Feba yang diterpa cahaya lampu lentera. Cantik sekali. Senyuman itu yang membuatnya jatuh cinta. “Feba, kau ingin punya berapa anak?”
            Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Feba menoleh cepat pada Demian. “Apa?”
            “Kau ingin punya berapa anak?” Ulang Demian, matanya yang berwarna pirus itu balas menatap Feba. “Kalau sudah menikah nanti, maksudku.”
            Feba mengerjap. “Kau mengajakku menikah?”
            Demian menyikut lengan Feba dan menggerutu. “Jangan salah sangka dulu. Aku tidak mengajakmu menikah. Aku hanya bertanya.”
            Feba mendesah dengan keras. Memandang jauh ke langit gelap. Ia melihat beberapa orang sudah menerbangkan lampu lentera mereka. “Hm… Yang penting lebih dari satu. Kau tahu aku anak tunggal kan? Sendirian membuatku sering merasa kesepian.” Ia terdiam, lalu kembali menatap Demian. “Mungkin tiga, itu akan lebih baik bukan?”
            Demian mengangkat bahu. “Kurasa begitu. Laki-laki atau perempuan?”
            Giliran Feba yang mengangkat bahu. “Yang mana saja terserah. Aku tidak keberatan.” Ia terdiam sejenak pura-pura berpikir keras. “Apa mungkin ini caramu melamarku?”
            Demian langsung memalingkan wajahnya dari tatapan Feba. “Seandainya aku memang melamarmu,” balas Demian santai, “Apa jawabanmu?”
            Feba menatapnya selama beberapa saat, lalu memandang kosong pada lampu lentera yang sedang ia pegang dengan kedua tangannya. “Apa kau percaya pada bintang jatuh Demian? Apa kau percaya permohonan yang diucapkan ketika mereka melintas bisa terkabulkan?”
            “Em, tidak juga.” Gumamnya tidak yakin.
            “Ketika mereka menerbangkan lampu lenteranya, mereka tidak akan lupa untuk mengucapkan permohonan mereka. It’s like send message to the sky.” Ia menoleh pada Demian. “Kau penasaran dengan jawabanku akan pertanyaanmu barusan, kan? Aku tidak akan bilang. Cukup waktu yang kubiarkan menjawabnya. Aku takut harapanku tidak sesuai dengan kenyataan, Dem.” Feba berjalan bergabung bersama orang-orang lainnya. Demian mengikutinya dan masih setia berdiri beriringan dengan gadis itu. “Ucapkan pesanmu kepada langit Demian. Kita akan menerbangkan lenteranya sekarang.”


LANTERN

            Demian melirik pada Feba sesaat. Gadis itu memejamkan matanya. Bisa ditebak, ia pasti sedang mengucapkan permohonannya sekarang. Demian ikut hanyut dalam suasana tenang walaupun hiruk pikuk terdengar samar-samar di telinganya. Ia mengucapkan permohonannya dalam hati, berharap pesan yang akan ia layangkan ke langit dapat didengar dan dikabulkan. Jika gadis yang sedang bersamaku ini adalah jodohku, jangan pernah biarkan ia jauh dariku. Jika bintang di langit memang dapat mengabulkan permohonan, tolong biarkan aku mewujudkan kebahagiaannya apapun itu.
            Feba melepaskan lampu lenteranya ke udara. Efek panas dari lilin yang berada di tengahnya membuat lampu lentera itu terbang jauh ke langit bersama hembusan angin musim panas. Demian pun melepaskan lampu lenteranya ke udara. Keduanya mengamati langit tepat di atas kepala mereka. Lampu lentera itu berjejer, menyala, seakan membentuk jembatan ke langit.
            Feba melirik Demian sejenak. Ia menatap kosong pada laki-laki itu. Seandainya kau tahu jawabanku, Dem. Siapapun, perempuan di dunia ini akan sangat bahagia bila dapat dicintai oleh orang yang ia cintai. Kebahagiaan itu akan sempurna, ketika orang itu juga yang akan menjadi pendamping hidupnya hingga tua. Memilikimu di sini sekarang, di sebelahku, adalah satu kebahagiaan yang tidak akan bisa ditukar dengan apapun.
            Hey, dude! Wanna sing a song?” Seorang Pria Aussie menepuk pundak Demian hingga menyadarkan Feba dari lamunan sesaatnya. Pria itu menawarkan Ukulele padanya. Demian menyambutnya dengan senang hati.
            Demian menarik lengan Feba dan bergabung bersama orang-orang lainnya di dekat api unggun. Ia memberi kode pada Feba agar duduk manis. Feba tersenyum. Laki-laki itu berjalan ke tengah-tengah kerumunan orang dan mulai memainkan Ukulelenya berdua bersama Pria Aussie itu. Petikan Ukulele itu mulai mengalun hingga ke telinga Feba. Feba menggerakkan tubuhnya mengikuti nada petikannya. Begitupun dengan orang lainnya yang juga berkumpul di tempat itu. Demian memberikan kode kepada Feba dengan bibirnya yang bergerak tanpa suara. Feba melihatnya samar-samar. Jika ia tidak salah, mungkin Demian mengatakan, “This song is for you.”



            My heart is sinking, As I’m lifting up above the clouds away from you.
            And I can’t believe I’m leaving, Oh I don’t kno-kno-know what I’m gonna do.
            But someday, I’ll find my way back to where your name is written in the sand.

            Reff:
            Cause I remember every sunset, I remember every word you said.
            We were never gonna say goodbye, singing la-da-da-da-da.
            Tell me how to get back to, back to summer paradise with you, Oh-oh
            And il’ll be there in a heartbeat, Oh-oh, I’ll be there in a heartbeat.
            Yeah, I remember sunny mornings, And summer evenings
            Now you’re next to me and I am freezing, was it real?
            Oh baby, tell me, was I dreaming? How can you show me paradise when I’m leaving.


            Feba tersipu malu mendengar setiap lirik yang dinyanyikan Demian untuknya. Bila dunia bertanya padanya, apakah kau bahagia? Feba tidak akan pernah takut untuk menjawab dengan suara  lantang bahwa ia sangat bahagia bisa bersama laki-laki itu. Demian adalah arti dari kebahagiaan yang tercurah dalam senyuman manisnya yang merekah setiap hari. Terima kasih sudah mau menjadi bagian dari hidupku, Dem!
*****


BLOG POST INI DIBUAT DALAM RANGKA MENGIKUTI PROYEK MENULIS LETTERS OF HAPPINESS. SHARE YOUR HAPPINESS WITH THE BAY BALI & GET DISCOVERED!

6 comments:

  1. Sebuah kisah cinta yang romantis :)

    ReplyDelete
  2. I like it. :) Yang mau baca versi saya, silahkan mampir ke blog saya & jangan lupa tinggalkan komentar. :)

    ReplyDelete
  3. di sini cerpennya, tentang perbedaan agama :) http://nelvianti.blogspot.com

    ReplyDelete

Leave comments here!