Friday, February 6, 2015

#30HariMenulisSuratCinta - Hanna Enka Hari ke-9 "Kepadamu, dendang rindu itu kusematkan."

Apa kabarmu?
Lelakiku dengan kacamata yang membingkai kedua bola matamu. Begitulah gambaran dirimu kini yang kuketahui sejak kau mengirimkan foto terbaru gambaran sosokmu di tempat yang jauh dari jangkauanku.
Kau bertanya,
"Apakah aku terlihat pantas mengenakannya?"
Gagang yang tebal dengan warna hitam nan elegan menambah kesan wibawa dirimu terlengkapi sudah. Sebagaimana dirimu, itulah yang selalu aku sukai. Tak akan berubah, hingga perasaan kita pupus kelak ditelan oleh takdir.

Harusnya, kau bertanya, bagaimana kabarku? Apakah baik-baik saja tanpamu? 

Namun, tak ku dengar kau mengirimkan pertanyaan itu sejak kau layangkan suratmu kepadaku pertama kali perpisahan kita.

Katamu, jika aku bertanya, tak pantas kau untuk tahu bagaimana kabarku. Katamu, jika kau tahu, dan itu bukan perihal kabar baik, nantinya hanya akan membuatmu merasa terbebani dan merasa bersalah karena meninggalkanku.

Seandainya pun kau bertanya,
Aku punya jawaban yang tak akan membebanimu.

Aku baik-baik saja. Sedang mulai terbiasa menjalani hari dalam tempo kehidupanku agar tak selalu bergantung padamu sama seperti ketika kau di sini. Hanya saja, kau tahu rindu bukan?
Perasaan itu yang selalu datang mencekam batinku tiba-tiba. 
Kadang aku ingin bertanya, apakah kau juga merasakan apa yang aku rasakan?

Banyak orang yang bercerita tentang cinta, katanya,
Ketika kau merasakan rindu, ibarat perasaan takut kehilangan yang membunuh, maka sosok sebelah hatimu pun akan ikut merasakannya. Teorinya seperti telepon dengan benang sebagai kabelnya. Mungkin kau pernah memainkankannya dulu, ketika kau masih di masa kanak-kanak. 
Suaranya akan tersampaikan dengan kuat jika benangnya tegang. Apakah begitu rasa rindumu padaku?
Kuharap bisa menyampaikan rasa itu padamu hingga kau pun merasakan getarannya yang memilukan karena dihimpit oleh jarak yang tak dekat.

Aku rindu padamu, Mion.

Pertama kalinya kutuliskan namamu di dalam surat cintaku. Untuk menegaskan bahwa aku tak lupa dirimu hingga waktu aku menuliskan surat selanjutnya.

Rindu yang banyak menyiksaku. Terlalu banyak membuatku menitikkan air mata ketika melihat kenangan kita dalam mimpi di tidurku.

Mion, apakah kau akan lama kembali? Aku ingin sekali menyentuh ragamu sekali. Sekedar untuk mengobati rasa sakit yang mencekam batinku hingga menorehkan perih di dalam dadaku.
Sesak, rasanya seakan kita bahkan tak berada dalam satu lingkaran yang orang-orang biasa sebut sebagai cinta.

Seandainya kau merasakannya,
Kuharap kau tak menyembunyikannya.
Kau boleh menahannya,
Tetapi, biarlah aku tahu agar hatiku tak berteka-teki dalam tanya.

Rindu ini,
Hanya akan menjadi milikmu.
Dan hanya akan sembuh ketika aku melihat wujudmu nyata tepat di hadapanku.

Aku merindukanmu,
Hanna

No comments:

Post a Comment

Leave comments here!