“Selamat datang. Selamat datang Tuan dan Nona.” Beberapa
pegawai toko perhiasan menyambut Sena begitu ia masuk bergandengan tangan
dengan Oshima. Hari itu, Sena meminta pada Oshima untuk berjalan-jalan bersama
melihat-lihat perhiasan. Sesungguhnya, dalam hati, Sena berharap bisa sekalian
mencari cincin untuk pernikahan mereka yang belum diatur kapan akan
dilaksanakannya.
Sena berjalan mengitari satu per satu lemari kaca yang
berjejer di sekelilingnya. Ia mencoba mencari yang sesuai dengan keinginannya. Sampai
ia berhenti pada salah satu lemari ketika matanya terpaku pada sebuah cincin
dengan permata indah bersusun tepat di tengah lingkarannya.
“Wah, ini cantik sekali.”
“Satu juta yen?” Nada suara Oshima terdengar ragu-ragu.
Walaupun Sena sebenarnya menginginkan itu, tapi ia harus
mencari yang lain yang bisa dijangkau oleh keuangan milik Oshima, mengingat
Oshima hanyalah seorang karyawan yang tidak memiliki jabatan yang berarti di
perusahaan tempatnya bekerja.
Sena beranjak meninggalkan lemari kaca itu dan melirik
beberapa perhiasan yang lainnya. Akhirnya, walaupun ia tidak meminta pada
Oshima, laki-laki itu akhirnya membeli sebuah cincin dengan bentuk sederhana. Cincin
emas dengan sebuah permata berukuran kecil seharga 450 yen.
Oshima lalu meraih tangan perempuan itu dan meletakkan
cincin itu tepat di jari manis tangan sebelah kanannya. Walaupun sederhana,
tetapi Sena menyukainya. “Terima kasih.” Ucap Sena dengan tulus. “Oshi,
bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Ya? Apa?”
“Sudah hampir sebulan berlalu sejak kau melamarku. Kapan kita
akan melangsungkan pernikahan?”
Oshima terlihat berpikir sejenak. Ia lalu tersenyum dan
menjawab, “Kau bisa mengaturnya. Aturlah sesuai dengan waktu yang kamu inginkan.”
“Benarkah?”
Oshima mengangguk meyakinkannya. “Ya. Kau tinggal
menghubungiku jika itu tentang biaya. Akan aku usahakan. Aku janji.”
*****
Sena duduk di depan seorang wedding planner
bersama dengan Ryuta. Ia sibuk memikirkan konsep yang akan ia gunakan saat
pernikahannya nanti. Sena memilih bulan September. Tepat pada saat musim gugur
akan tiba. Waktu yang dipilih Sena bertepatan dengan hari Ekuinoks, yaitu
tanggal 23 september.
Ryuta membolak-balik sebuah album digenggamannya. Ia bahkan
bergumam sesekali tentang konsep-konsep artis yang sering ia lihat di TV
kemudian ia tawarkan pada Sena. “Kau ingat yang dulu pernah ku katakan padamu? Kau
harus mengenakan gaun berwarna putih. Karena cocok sekali denganmu.” Ia lalu
membolak-balik halaman album. “Lihat! Untuk hiasan ruangannya ini cocok. Ini cantikdan
akan memberi kesan glamour. Kau harus terliat bagaikan putri. Ingat! Pernikahan
hanya terjadi sekali seumur hidup bila dengan orang yang tepat. Jangan sampai
kau menyesal tidak mempersiapkannya dengan matang.”
Sejujurnya, pernikahan impian Sena adalah pernikahan yang
sederhana. Namun, ia ingat Oshima berpesan padanya agar mengaturnya sesuai
dengan apa yang ia inginkan. Ia boleh saja meminta pemain musik Jazz untuk
mengiringi. Jangankan gaun berwarna putih, ia bahkan bisa memilih gaun dengan
kualitas terbaik. Soal tempat pernikahan, Oshima tidak bercanda saat mengatakan
Sena bahkan bisa meminta kapal Ferry untuk pernikahan mereka. Kata
Oshima,buatlah pesta yang benar-benar akan membuatnya terlihat seperti putri
sesungguhnya. Bukankah menjadi putri dengan pesta pernikahan tak terlupakan
merupakan impian setiap kaum perempuan?
Akhirnya Sena telah mempersiapkan semuanya. Dibantu oleh
Ryuta yang banyak memberi masukan, tentu saja Sena lebih merasa yakin.
Malam itu, Sena duduk di balkon bersama Oshima. Beberapa kaleng
soda menemani mereka menyaksikan langit malam berbintang diterpa cahaya
rembulan yang menyilaukan.
“Seminggu dari sekarang. Rasanya aku gugup.”
Oshima menggenggam tangan Sena. “Tenanglah! Semua akan
baik-baik saja.”
“Kau yakin?”
Oshima mengangguk. “Terima kasih sudah mau memilihku
sebagai calon suamimu.”
“Tidak, harusnya aku yang bilang begitu.” Sena terlihat
malu-malu. “Aku tidak pernah mengira akan menikah denganmu. Kau yang memilihku.
Pertemuan singkat kita, kau bahkan mencoba untuk membuat kenangan-kenangan
indah dalam waktu yang sebentar. Terima kasih Oshima.”
Oshima memandang kosong ke langit, ia lalu tersenyum
lebar. “Kau cantik. Diterpa cahaya rembulan, kau terlihat bercaya. Aku tidak
sabar melihatmu di Althar pernikahan kita. Kau pasti seperti seorang putri.”
Laki-laki itu lalu melirik Sena. Mereka pun bertemu pandang. Perlahan mulut
Oshima terbuka. Ia hendak mengatakan sesuatu. “Berjanjilah padaku, kau akan
menjalani hidup sampai akhir hayatmu bersamaku dan keluarga kecil kita kelak.”
Sena menggigit bibirnya. Tangannya yang dingin menjalar
di bahu laki-laki itu. secara perlahan ia mengusapnya dengan lembut. “Aku, akan
berusaha menjadi istri yang baik. Aku tidak sempurna, namun aku akan selalu
mencoba untuk membuat keluarga kecil kita kelak bahagia Oshima. Tak perlu
berjanji, sebagai seorang istri, itulah tugasku yang harus aku penuhi.”
Oshima lalu mendekapnya dengan erat. Ia tahu bahwa
pilihannya tidaklah salah. Seharusnya dari dulu, ia belajar bahwa tak selamanya
yang berkilau itu indah jika ternyata yang sederhana itu lebih baik daripada
yang berkilau. Malam itu, mereka bahkan sudah merencanakan banyak hal. tentang
Oshima yang akan membangun rumah untuk Sena di Osaka, tentang rencana memiliki
anak, tentang liburan bulan madu dan masih banyak hal lainnya yang tidak
mungkin terwujud sekalipun. Sena bahagia tertawa bersama laki-laki itu. Di
hatinya ia berharap, jika ada bintang jatuh yang melintasi langit kami,
tolong kabulkan satu permintaanku, semoga dia menjadi suami dan ayah yang baik
untukku dan anak-anakku kelak.
*****
Satu minggu kemudian.
Sena terlihat cantik dengan gaun berwarna putih tulang. Rambutnya
yang hitam di biarkan terurai dan dihiasi dengan beberapa aksesoris. Piñata rias
pun sudah selesai meriasi wajahnya. Ryuta ikut sibuk mempersiapkan segalanya. Perempuan
itu bahkan sangat cerewet begitu hampir tiba waktu acara pernikahan dimulai.
“Apa kau sudah menghubungi Oshima? Apakah mempelai pria
sudah siap?” Tanya Ryuta sambil asik mengatur sebuket bunga yang akan dibawa
oleh Sena.
“Sudah. Tapi, nomornya tidak aktif. Mungkin dia sedang
bersiap-siap dan tidak bisa diganggu.”
“Oh.” Ryuta menoleh pada Sena lalu tersenyum. “Hei,
tenanglah! Jangan gugup. Anggap saja kau sedang latihan peragaan busana
bagaikan model. Waktu muda, aku pun beranggapan begitu, makanya aku pede!” Ia
menghibur.
Sena sudah mencoba namun tetap saja rasa gugup menguasai
dirinya. Terlebih lagi, saat Oshima tidak bisa dihubungi, perasaannya jadi
kacau. Ada perasaan mengganjal di hatinya. Perasaan tidak enak yang sedang coba
ia acuhkan. Apakah aku akan jatuh? Apakah gaunku akan tersangkut? Dia mulai
parno.
Satu jam berlalu dan para tamu undangan sudah memenuhi
aula. Nomor ponsel Oshima masih saja tidak bisa dihubungi. Ryuta sudah mulai
ikut gelisah. Dipikirannya terbesit laki-laki itu tak akan datang. Namun, ia
sama sekali tidak mengungkapkannya karena tak ingin membuat Sena merasa
terbebani.
Oshima kamu di mana? Apakah kamu tidak akan datang? Apa
yang terjadi? Sena menggigit bibirnya. Ia berjalan berputar-putar berulang
kali. Ponselnya selalu ia letakkan di telinga menunggu nada panggilan
tersambung. Namun, nihil. Semuanya sia-sia.
*****
“Apa kau sudah siap?” Supir menghampiri Oshima yang
sedang mematung diri di depan cermin besar.
“Ya. Sedikit lagi.” Ia merapikan jasnya. Memutar badan ke
kiri dan ke kanan lalu berjalan mengikuti Supir ke luar rumah. Oshima terlihat
grogi. Berulang kali ia mengatur napas mencoba untuk menenangkan diri. Oshima
merogoh kantong celananya. Ia mencari ponselnya namun sayang, sepertinya ia
melupakannya. Jika ia harus memutar balik mobil untuk kembali, tidak akan ada
cukup waktu. Ia sudah terlambat tiba di tempat acara.
“Ada apa?” Supir mengajaknya berbincang. “Apakah ada yang
terlupakan?”
“Ya. Ponselku. Bolehkah aku pinjam ponselmu?”
“Tentu.” Ia memberikan ponselnya pada Oshima.
Oshima mengetik pesan dengan cepat. Ia lalu
mengirimkannya pada Sena. Siapa menyangka, itu adalah pesan terakhirnya yang ia
kirimkan pada perempuan itu. belum sempat pesan singkat itu sampai di ujung
telepon, sebuah kecelakaan naas terjadi. Mobil yang ditumpangi oleh Oshima
terbalik karena bertabrakan dengan sebuah mobil pengangkut cargo berukuran
besar. Mobil tersebut terhempas menabrak pembatas jalan, lalu terjatuh jauh tak
terhingga. Oshima pun tak terselamatkan.
*****
Sena menggigit jari-jemarinya yang dibalut oleh sarung
tangan. Ponselnya lalu bergetar. Satu pesan masuk, dari nomor yang tak ia
ketahui. Perempuan itu berharap itu adalah pesan dari Oshima dan ternyata
dugaannya benar.
Maaf aku terlambat. Kau tidak gugup kan? Semua akan
baik-baik saja. Percaya padaku. Aku akan menggandeng tanganmu. Sena, aku
mencintaimu. Apa kau mencintaiku?
Baru saja Sena akan membalas pesan dari Oshima, Ryuta
sudah berjalan ke arahnya dengan linangan air mata. Bibir perempuan tua itu
bergetar. Ia bahkan tidak akan sanggup untuk memberitahukannya kepada Sena.
Gadis itu terlihat bahagia, dia akan segera menikah dan sekarang ada peristiwa
tragis yang harus membatalkan semua kebahagiaan yang sudah dia rajut jauh-jauh
hari.
“Senaaaa…” Ryuta memeluknya. “Oshima…”
“Oshima? Kau kenapa Ryuta? Iya, dia sudah menghubungiku. Dia
akan segera tiba. Kau tidak perlu khawatir.”
“Tidak Sena. Dia tidak akan datang. Oshima kecelakaan dan
dia sudah meninggal Sena.”
Alis Sena mengkerut. Bibirnya bergetar. Matanya bahkan
tidak bisa menahan air matanya lagi. Tangisnya pecah. Meraung-raung. Ia terduduk
lemas dan tak berdaya. Tangisannya menghapus riasan dan membasahi gaun putihnya
yang indah. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ryuta barusan. Kenapa
hidupnya begitu kacau seperti ini? Seperti Tuhan tidak memberinya takdir untuk
hidup bahagia. Oshima, bagaimana dia? Laki-laki itu, kami bahkan sudah membuat
rencana bersama-sama. Tetapi, mengapa Tuhan mengambilnya. Apa dosanya sehingga
ia harus merasakan pedihnya hidup berulang-ulang? Haruskah ia menyalahkan
Tuhan? Haruskah ia menyalahkan hidupnya yang sial? Atau, haruskah ia mengerti
bahwa dunia tidak menginginkannya lagi?
*****
Sena duduk di depan makam Oshima. Ia meletakkan Anime
Figure yang menyerupai dirinya dan Oshima di sebelah foto Oshima. Di foto itu,
laki-laki itu tersenyum. Apakah ia memang bahagia?
Sena terus menangis. Isaknya terdengar begitu lemah. Tubuhnya
bahkan tak terasa lagi. Ia tidak kuat menerima itu semua. Cincin yang dulu
dibelinya bersama Oshima melingkar dengan indah di jari manisnya. Sedikit lagi,
seharusnya laki-laki itu menjadi suaminya.
Apa kau benar-benar pergi? Apa kau baik-baik saja? Aku
bahkan belum menjawab pesanmu. Apakah kau tidak ingin mendengarkan jawabanku?
Sena berbicara dalam hatinya. Ia berharap Oshima akan memberinya jawaban.
Kata Ryuta, aku tidak boleh terus bersedih. Jika aku
bersedih, tandanya aku akan membuatmu tersiksa dan tidak melepaskan
kepergianmu. Oshima, kau mendengarkan aku kan? Seharusnya aku bisa membaca
tentang semua ini. Mungkin Tuhan sudah memberi tanda kalau kau akan pergi.
Oshima, maafkan aku yang memaksa untuk segera menikah. Kau tahu, aku
mencintaimu, lebih dari apapun yang ada di dunia. Kau laki-laki pertama dan
terakhir yang membuat hatiku luluh tidak karuan. Mungkin dunia kita sekarang
berbeda. Tapi, percayalah. Aku akan selalu menyimpanmu jauh di lubuk hatiku. Kau
adalah suamiku. Entah itu sah ataupun tidak. Jaga dirimu Oshima. Semoga kau
baik-baik saja di sana.
Sena berjalan meninggalkan tempat itu sambil mengusap air
matanya yang mengalir di wajahnya yang sembab. Berbagai kenangan indah kembali
ia ingat ketika bersama laki-laki itu. bagaimana ketika Oshima mampu membuatnya
tertawa bahagia. Laki-laki itu benar-benar tulus mencintainya. Sesaat kisah
yang hangat bagaikan musim semi itu berlalu tertiup angin dan mengalun jatuh
bagaikan setangkai daun yang terbang jauh ditiup angin musim gugur. Di saat
waktu akan berulang, yang akan muncul hanyalah sebersit rindu yang tidak akan
pernah tersampaikan. Namun, hanya kenangan itulah yang akan mencoba untuk
mengobati. Dari tempat berbeda sebuah bisikan mengalun lembut, aku
mencintaimu Sena.
*****
No comments:
Post a Comment
Leave comments here!