Monday, February 3, 2014

Selamat jalan, Kekasihku!



            “Selamat datang. Selamat datang Tuan dan Nona.” Beberapa pegawai toko perhiasan menyambut Sena begitu ia masuk bergandengan tangan dengan Oshima. Hari itu, Sena meminta pada Oshima untuk berjalan-jalan bersama melihat-lihat perhiasan. Sesungguhnya, dalam hati, Sena berharap bisa sekalian mencari cincin untuk pernikahan mereka yang belum diatur kapan akan dilaksanakannya.
            Sena berjalan mengitari satu per satu lemari kaca yang berjejer di sekelilingnya. Ia mencoba mencari yang sesuai dengan keinginannya. Sampai ia berhenti pada salah satu lemari ketika matanya terpaku pada sebuah cincin dengan permata indah bersusun tepat di tengah lingkarannya.
            “Wah, ini cantik sekali.”
            “Satu juta yen?” Nada suara Oshima terdengar ragu-ragu.
            Walaupun Sena sebenarnya menginginkan itu, tapi ia harus mencari yang lain yang bisa dijangkau oleh keuangan milik Oshima, mengingat Oshima hanyalah seorang karyawan yang tidak memiliki jabatan yang berarti di perusahaan tempatnya bekerja.
            Sena beranjak meninggalkan lemari kaca itu dan melirik beberapa perhiasan yang lainnya. Akhirnya, walaupun ia tidak meminta pada Oshima, laki-laki itu akhirnya membeli sebuah cincin dengan bentuk sederhana. Cincin emas dengan sebuah permata berukuran kecil seharga 450 yen.
            Oshima lalu meraih tangan perempuan itu dan meletakkan cincin itu tepat di jari manis tangan sebelah kanannya. Walaupun sederhana, tetapi Sena menyukainya. “Terima kasih.” Ucap Sena dengan tulus. “Oshi, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
            “Ya? Apa?”
            “Sudah hampir sebulan berlalu sejak kau melamarku. Kapan kita akan melangsungkan pernikahan?”
            Oshima terlihat berpikir sejenak. Ia lalu tersenyum dan menjawab, “Kau bisa mengaturnya. Aturlah sesuai dengan waktu yang kamu inginkan.”
            “Benarkah?”
            Oshima mengangguk meyakinkannya. “Ya. Kau tinggal menghubungiku jika itu tentang biaya. Akan aku usahakan. Aku janji.”
*****
            Sena duduk di depan seorang wedding planner bersama dengan Ryuta. Ia sibuk memikirkan konsep yang akan ia gunakan saat pernikahannya nanti. Sena memilih bulan September. Tepat pada saat musim gugur akan tiba. Waktu yang dipilih Sena bertepatan dengan hari Ekuinoks, yaitu tanggal 23 september.
            Ryuta membolak-balik sebuah album digenggamannya. Ia bahkan bergumam sesekali tentang konsep-konsep artis yang sering ia lihat di TV kemudian ia tawarkan pada Sena. “Kau ingat yang dulu pernah ku katakan padamu? Kau harus mengenakan gaun berwarna putih. Karena cocok sekali denganmu.” Ia lalu membolak-balik halaman album. “Lihat! Untuk hiasan ruangannya ini cocok. Ini cantikdan akan memberi kesan glamour. Kau harus terliat bagaikan putri. Ingat! Pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup bila dengan orang yang tepat. Jangan sampai kau menyesal tidak mempersiapkannya dengan matang.”
            Sejujurnya, pernikahan impian Sena adalah pernikahan yang sederhana. Namun, ia ingat Oshima berpesan padanya agar mengaturnya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ia boleh saja meminta pemain musik Jazz untuk mengiringi. Jangankan gaun berwarna putih, ia bahkan bisa memilih gaun dengan kualitas terbaik. Soal tempat pernikahan, Oshima tidak bercanda saat mengatakan Sena bahkan bisa meminta kapal Ferry untuk pernikahan mereka. Kata Oshima,buatlah pesta yang benar-benar akan membuatnya terlihat seperti putri sesungguhnya. Bukankah menjadi putri dengan pesta pernikahan tak terlupakan merupakan impian setiap kaum perempuan?
            Akhirnya Sena telah mempersiapkan semuanya. Dibantu oleh Ryuta yang banyak memberi masukan, tentu saja Sena lebih merasa yakin.

            Malam itu, Sena duduk di balkon bersama Oshima. Beberapa kaleng soda menemani mereka menyaksikan langit malam berbintang diterpa cahaya rembulan yang menyilaukan.
            “Seminggu dari sekarang. Rasanya aku gugup.”
            Oshima menggenggam tangan Sena. “Tenanglah! Semua akan baik-baik saja.”
            “Kau yakin?”
            Oshima mengangguk. “Terima kasih sudah mau memilihku sebagai calon suamimu.”
            “Tidak, harusnya aku yang bilang begitu.” Sena terlihat malu-malu. “Aku tidak pernah mengira akan menikah denganmu. Kau yang memilihku. Pertemuan singkat kita, kau bahkan mencoba untuk membuat kenangan-kenangan indah dalam waktu yang sebentar. Terima kasih Oshima.”
            Oshima memandang kosong ke langit, ia lalu tersenyum lebar. “Kau cantik. Diterpa cahaya rembulan, kau terlihat bercaya. Aku tidak sabar melihatmu di Althar pernikahan kita. Kau pasti seperti seorang putri.” Laki-laki itu lalu melirik Sena. Mereka pun bertemu pandang. Perlahan mulut Oshima terbuka. Ia hendak mengatakan sesuatu. “Berjanjilah padaku, kau akan menjalani hidup sampai akhir hayatmu bersamaku dan keluarga kecil kita kelak.”
            Sena menggigit bibirnya. Tangannya yang dingin menjalar di bahu laki-laki itu. secara perlahan ia mengusapnya dengan lembut. “Aku, akan berusaha menjadi istri yang baik. Aku tidak sempurna, namun aku akan selalu mencoba untuk membuat keluarga kecil kita kelak bahagia Oshima. Tak perlu berjanji, sebagai seorang istri, itulah tugasku yang harus aku penuhi.”
            Oshima lalu mendekapnya dengan erat. Ia tahu bahwa pilihannya tidaklah salah. Seharusnya dari dulu, ia belajar bahwa tak selamanya yang berkilau itu indah jika ternyata yang sederhana itu lebih baik daripada yang berkilau. Malam itu, mereka bahkan sudah merencanakan banyak hal. tentang Oshima yang akan membangun rumah untuk Sena di Osaka, tentang rencana memiliki anak, tentang liburan bulan madu dan masih banyak hal lainnya yang tidak mungkin terwujud sekalipun. Sena bahagia tertawa bersama laki-laki itu. Di hatinya ia berharap, jika ada bintang jatuh yang melintasi langit kami, tolong kabulkan satu permintaanku, semoga dia menjadi suami dan ayah yang baik untukku dan anak-anakku kelak.
*****
            Satu minggu kemudian.
            Sena terlihat cantik dengan gaun berwarna putih tulang. Rambutnya yang hitam di biarkan terurai dan dihiasi dengan beberapa aksesoris. Piñata rias pun sudah selesai meriasi wajahnya. Ryuta ikut sibuk mempersiapkan segalanya. Perempuan itu bahkan sangat cerewet begitu hampir tiba waktu acara pernikahan dimulai.
            “Apa kau sudah menghubungi Oshima? Apakah mempelai pria sudah siap?” Tanya Ryuta sambil asik mengatur sebuket bunga yang akan dibawa oleh Sena.
            “Sudah. Tapi, nomornya tidak aktif. Mungkin dia sedang bersiap-siap dan tidak bisa diganggu.”
            “Oh.” Ryuta menoleh pada Sena lalu tersenyum. “Hei, tenanglah! Jangan gugup. Anggap saja kau sedang latihan peragaan busana bagaikan model. Waktu muda, aku pun beranggapan begitu, makanya aku pede!” Ia menghibur.
            Sena sudah mencoba namun tetap saja rasa gugup menguasai dirinya. Terlebih lagi, saat Oshima tidak bisa dihubungi, perasaannya jadi kacau. Ada perasaan mengganjal di hatinya. Perasaan tidak enak yang sedang coba ia acuhkan. Apakah aku akan jatuh? Apakah gaunku akan tersangkut? Dia mulai parno.
            Satu jam berlalu dan para tamu undangan sudah memenuhi aula. Nomor ponsel Oshima masih saja tidak bisa dihubungi. Ryuta sudah mulai ikut gelisah. Dipikirannya terbesit laki-laki itu tak akan datang. Namun, ia sama sekali tidak mengungkapkannya karena tak ingin membuat Sena merasa terbebani.
            Oshima kamu di mana? Apakah kamu tidak akan datang? Apa yang terjadi? Sena menggigit bibirnya. Ia berjalan berputar-putar berulang kali. Ponselnya selalu ia letakkan di telinga menunggu nada panggilan tersambung. Namun, nihil. Semuanya sia-sia.
*****
            “Apa kau sudah siap?” Supir menghampiri Oshima yang sedang mematung diri di depan cermin besar.
            “Ya. Sedikit lagi.” Ia merapikan jasnya. Memutar badan ke kiri dan ke kanan lalu berjalan mengikuti Supir ke luar rumah. Oshima terlihat grogi. Berulang kali ia mengatur napas mencoba untuk menenangkan diri. Oshima merogoh kantong celananya. Ia mencari ponselnya namun sayang, sepertinya ia melupakannya. Jika ia harus memutar balik mobil untuk kembali, tidak akan ada cukup waktu. Ia sudah terlambat tiba di tempat acara.
            “Ada apa?” Supir mengajaknya berbincang. “Apakah ada yang terlupakan?”
            “Ya. Ponselku. Bolehkah aku pinjam ponselmu?”
            “Tentu.” Ia memberikan ponselnya pada Oshima.
            Oshima mengetik pesan dengan cepat. Ia lalu mengirimkannya pada Sena. Siapa menyangka, itu adalah pesan terakhirnya yang ia kirimkan pada perempuan itu. belum sempat pesan singkat itu sampai di ujung telepon, sebuah kecelakaan naas terjadi. Mobil yang ditumpangi oleh Oshima terbalik karena bertabrakan dengan sebuah mobil pengangkut cargo berukuran besar. Mobil tersebut terhempas menabrak pembatas jalan, lalu terjatuh jauh tak terhingga. Oshima pun tak terselamatkan.
*****


            Sena menggigit jari-jemarinya yang dibalut oleh sarung tangan. Ponselnya lalu bergetar. Satu pesan masuk, dari nomor yang tak ia ketahui. Perempuan itu berharap itu adalah pesan dari Oshima dan ternyata dugaannya benar.
            Maaf aku terlambat. Kau tidak gugup kan? Semua akan baik-baik saja. Percaya padaku. Aku akan menggandeng tanganmu. Sena, aku mencintaimu. Apa kau mencintaiku?
            Baru saja Sena akan membalas pesan dari Oshima, Ryuta sudah berjalan ke arahnya dengan linangan air mata. Bibir perempuan tua itu bergetar. Ia bahkan tidak akan sanggup untuk memberitahukannya kepada Sena. Gadis itu terlihat bahagia, dia akan segera menikah dan sekarang ada peristiwa tragis yang harus membatalkan semua kebahagiaan yang sudah dia rajut jauh-jauh hari.
            “Senaaaa…” Ryuta memeluknya. “Oshima…”
            “Oshima? Kau kenapa Ryuta? Iya, dia sudah menghubungiku. Dia akan segera tiba. Kau tidak perlu khawatir.”
            “Tidak Sena. Dia tidak akan datang. Oshima kecelakaan dan dia sudah meninggal Sena.”
            Alis Sena mengkerut. Bibirnya bergetar. Matanya bahkan tidak bisa menahan air matanya lagi. Tangisnya pecah. Meraung-raung. Ia terduduk lemas dan tak berdaya. Tangisannya menghapus riasan dan membasahi gaun putihnya yang indah. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ryuta barusan. Kenapa hidupnya begitu kacau seperti ini? Seperti Tuhan tidak memberinya takdir untuk hidup bahagia. Oshima, bagaimana dia? Laki-laki itu, kami bahkan sudah membuat rencana bersama-sama. Tetapi, mengapa Tuhan mengambilnya. Apa dosanya sehingga ia harus merasakan pedihnya hidup berulang-ulang? Haruskah ia menyalahkan Tuhan? Haruskah ia menyalahkan hidupnya yang sial? Atau, haruskah ia mengerti bahwa dunia tidak menginginkannya lagi?
*****


            Sena duduk di depan makam Oshima. Ia meletakkan Anime Figure yang menyerupai dirinya dan Oshima di sebelah foto Oshima. Di foto itu, laki-laki itu tersenyum. Apakah ia memang bahagia?
            Sena terus menangis. Isaknya terdengar begitu lemah. Tubuhnya bahkan tak terasa lagi. Ia tidak kuat menerima itu semua. Cincin yang dulu dibelinya bersama Oshima melingkar dengan indah di jari manisnya. Sedikit lagi, seharusnya laki-laki itu menjadi suaminya.
            Apa kau benar-benar pergi? Apa kau baik-baik saja? Aku bahkan belum menjawab pesanmu. Apakah kau tidak ingin mendengarkan jawabanku? Sena berbicara dalam hatinya. Ia berharap Oshima akan memberinya jawaban.
            Kata Ryuta, aku tidak boleh terus bersedih. Jika aku bersedih, tandanya aku akan membuatmu tersiksa dan tidak melepaskan kepergianmu. Oshima, kau mendengarkan aku kan? Seharusnya aku bisa membaca tentang semua ini. Mungkin Tuhan sudah memberi tanda kalau kau akan pergi. Oshima, maafkan aku yang memaksa untuk segera menikah. Kau tahu, aku mencintaimu, lebih dari apapun yang ada di dunia. Kau laki-laki pertama dan terakhir yang membuat hatiku luluh tidak karuan. Mungkin dunia kita sekarang berbeda. Tapi, percayalah. Aku akan selalu menyimpanmu jauh di lubuk hatiku. Kau adalah suamiku. Entah itu sah ataupun tidak. Jaga dirimu Oshima. Semoga kau baik-baik saja di sana.
            Sena berjalan meninggalkan tempat itu sambil mengusap air matanya yang mengalir di wajahnya yang sembab. Berbagai kenangan indah kembali ia ingat ketika bersama laki-laki itu. bagaimana ketika Oshima mampu membuatnya tertawa bahagia. Laki-laki itu benar-benar tulus mencintainya. Sesaat kisah yang hangat bagaikan musim semi itu berlalu tertiup angin dan mengalun jatuh bagaikan setangkai daun yang terbang jauh ditiup angin musim gugur. Di saat waktu akan berulang, yang akan muncul hanyalah sebersit rindu yang tidak akan pernah tersampaikan. Namun, hanya kenangan itulah yang akan mencoba untuk mengobati. Dari tempat berbeda sebuah bisikan mengalun lembut, aku mencintaimu Sena.
*****

           

No comments:

Post a Comment

Leave comments here!